Konten ini adalah kiriman dari Z Creators Indozone. Yuk, bikin cerita dan konten serumu, serta dapatkan berbagai reward menarik! Let’s join Z Creators dengan klik di sini.
INDOZONE.ID - Bahasa Jawa merupakan bahasa yang paling banyak dituturkan di Indonesia. Nah tentunya, kamu pasti juga tahu, bahwa terdapat banyak dialek-dialek Bahasa Jawa yang ada di Indonesia.
Dengan segala keunikan-keunikannya, berbagai dialek bahasa jawa di Indonesia tentu menjadi kebanggan tersendiri bagi para penuturnya, termasuk salah satunya yaitu dialek Semarangan.
Jika kamu ke Semarang, bisa dipastikan pasti mendengar orang-orang berbicara dengan akhiran –ik, -og, seperti contohnya "Orak ik, aku rak ngerti soale wis balik" (Engga tuh, aku gatau soalnya udah pulang).
Baca Juga: 100 Caption Singkat Bersyukur, Bahasa Inggris dan Artinya!
Atau ada juga "Orak og mas, sante wae, ora masalah" (Engga mas, santai aja, engga masalah), memanggil seorang laki-laki dengan sebutan kas (mas), mengucapkan hee sebagai tanda setuju, atau berbicara ndha, ndhes sebagai bentuk obrolan akrab sesama teman.
Dan tak ketinggalan, bahasa sebeh dan semeh, yang berarti bapak dan ibu dalam konteks panggilan anak kepada orang tuanya, seperti contoh “Sebehku wingi bar mangan gedhang“ (Ayahku kemarin habis makan pisang), atau “Wingi semehku bar metu seko Rumah Sakit“ (Kemarin ibuku habis keluar dari Rumah Sakit).
Di sisi lain, karena keunikannya terkadang oleh sesama penutur lainnya dialek Semarangan dianggap kurang sopan.
Mungkin dianggap sebagai bahasa kasar dan juga tidak memiliki unggah-ungguh. Mengapa bisa seperti itu? Mari kita ulik faktanya
Sejarah
Sejatinya, bahasa semarangan sendiri lebih eksis sebagai bahasa tutur dibandingkan bahasa tulisan. Hal ini disebabkan karena Semarang bukanlah pusat kebudayaan dalam konteks budaya jawa.
Di Jawa Tengah, Semarang sendiri memang merupakan ibukota provinsi, namun dalam konteks budaya jawa, sudah sejak dulu Keraton Surakarta lah yang menjadi pusat budaya Jawa, bahkan di masa kerajaan, Semarang hanya berstatus sebagai kadipaten, atau Kabupaten.
Selain itu, karya sastra tentang bahasa Semarangan belum ditemukan hingga kini, begitu juga kamus dengan bahasa Semarangan.
Walaupun begitu, hal ini tetap tidak bisa mengaburkan fakta bahwa bahasa semarangan tetap eksis sebagai bahasa tutur, dan berkembang secara alami.
Penamaan bahasa jawa semarangan atau bahasa semarangan sendiri merupakan hasil dari penamaan para komunitas penutur asli Semarang.
Hal ini menjadi sebuah tanda bahwa bahasa Jawa Semarangan memiliki perbedaan dengan bahasa Jawa standar atau bahasa Jawa lainnya.
Bahasa Jawa Semarangan sendiri awalnya memiliki perkembangan wilayah yang terbatas, dimulai dari Alun-Alun Kota Semarang, kemudian Pasar Johar, wilyaha antara Banjirkanal Barat dan Banjirkanal Timur, Pupsonjolo, Krobokan, Karangayu, Kalibanteng, Mrican, Kapling dan Jatingaleh.
Kemudian seiring berjalannya waktu, wilayah persebaran pun makin berkembang da ke-10 wilayah tersebut saat ini menjadi pusat perkembangan bahasa Jawa Semarangan.
Tata Bahasa
Seperti yang sudah disebutkan, banyak yang menganggap bahwa bahasa Jawa Semarangan kurang memiliki unggah-ungguh.
Mereka yang beranggapan seperti ini umumnya berkata “Wong Semarang kui ora bisa basa“, atau jika dalam bahasa Indonesia berarti “Orang Semarang itu tidak bisa bahasa“, di mana bahasa yang dimaksud yaitu bahasa krama (bahasa halus).
Hal ini karena terdapaat perbedaan antara bahasa Jawa Semarangan dengan kaidah bahasa Jawa standar.
Seperti umumnya bahasa Jawa, di bahasa Jawa Semarangan pun tetap mengenal unggah-ungguh basa, namun tidak seketat pada bahasa Jawa Solo dan Jogja. Inilah yang menjadi pembeda.
Orang Semarang terbiasa untuk mbhasakke awake dhewe (menggunakan krama inggil atau krama halus untuk dirinya sendiri), namun tetap tujuannya untuk menghormati lawan bicaranya, utamanya kepada yang lebih tua.
Hal inilah yang menyebabkan para penutur bahasa Jawa Solo-Jogja menganggap salah terkait penuturan krama inggil dalam bahasa Semarangan, karena menempatkan bahasa krama halus untuk membahasakan dirinya sendiri.
Contoh kalimat dari paradoks krama inggil ini yaitu: “Nyuwun pamit, kula badhe kondhur“ (Mohon pamit, saya mau pulang). Kesalahan yang terjadi pada kalimat ini yaitu pada kalimat kondhur (pulang), di mana kata tersebut tidak seharusnya dipakai oleh orang pertama, walaupun pengucapnya merupakan orang yang lebih tua atau dihormati, dan sebaiknya diganti dengan kata wangsul.
Sehingga dapat disimpulkan, bahwa orang Semarang ora bisa basa dalam kacamata bahasa Jawa standar yang merujuk pada bahasa Jawa Solo-Jogja adalah benar,.
Namun bukanlah hal yang salah jika melihat dari sudut pandang dialek semarangan, dan merupakan hal yang wajar serta merupakan kebiasaan sehari-hari.
Baca Juga: 101 Caption Semangat Kerja Bahasa Inggris, Singkat dan Lucu!
Nah, jadi begitu asal muasal keunikan dari Bahasa Jawa Semarangan. Di bawah ini, akan ada beberapa daftar kamus bahasa jawa semarangan yang bisa banget kamu pelajari, biar nanti kamu tidak bingung saat berkunjung ke Semarang. Berikut daftarnya!
- asem ik (kata umpatan)
- atis (“dingin“ dalam konteks minuman, “sejuk“ dalam konteks cuaca)
- bakbuk (impas)
- badak (bakwan)
- bangjo (lampu lalu lintas)
- banger (bau tidak sedap)
- Blaik (ungkapan kaget, khawatir)
- Ciamik (bagus)
- ndhes, ndha (imbuhan keakraban)
- ik, og (imbuhan)
- kas (mas)
- sebeh (bapak /ayah)
- semeh (ibu)
- dayatsu (angkutan kota, diambil dari merek Daihatsu)
- gentho (jagoan, jawara)
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Jurnal Parole Suryadi M