Kamis, 14 NOVEMBER 2024 • 08:00 WIB

Memahami Tradisi Kawin Tangkap Piti Maranggangu, Antara Hak dan Tradisi Perempuan

Author

Ilustrasi pernikahan.

INDOZONE.ID - Praktik tradisional di Indonesia sering kali mencerminkan nilai-nilai budaya yang mendalam, namun tidak jarang juga menimbulkan kontroversi, terutama terkait dengan hak-hak perempuan.

Salah satu contoh yang mencolok adalah tradisi “Piti Maranggangu” di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur.

Praktik yang dikenal sebagai "kawin tangkap" ini melibatkan penculikan perempuan untuk dinikahkan, hingga menimbulkan berbagai pertanyaan mengenai keadilan gender dan hak asasi manusia.

Dalam artikel ini, kita akan membahas lebih dalam mengenai praktik ini, dampaknya terhadap perempuan, serta perspektif hukum yang mengaturnya.

Masyarakat yang Patriarkis

Masyarakat Sumba adalah masyarakat pastoral yang mengandalkan beternak hewan sebagai sumber kehidupan.

Dalam konteks ini, praktik Piti Maranggangu muncul sebagai tradisi yang telah berlangsung lama.

Istilah "Piti Maranggangu" berarti "menangkap" atau "mengambil" seorang perempuan untuk dinikahi.

Baca Juga: Mitos Larangan Batik Parang di Pernikahan, antara Warisan Budaya dan Keyakinan Mistis

Praktik ini sering kali dilakukan tanpa persetujuan perempuan yang terlibat, menciptakan dilema moral dan hukum dalam konteks modern.

Praktik Piti Maranggangu

Di masa lalu, praktik Piti Maranggangu bukanlah proses perkawinan adat yang sembarang dilakukan.

Perempuan yang diambil sebagai pengantin adalah mereka yang berasal dari marga paman, di mana dalam sistem perkawinan adat, pengantin perempuan dan laki-laki dianggap cocok untuk berpasangan.

Penerapan praktik ini juga dilakukan dengan pertimbangan yang tinggi. Mereka harus menunggu pertanda baik dari marapu--dalam kepercayaan masyarakat Sumba, marapu adalah roh yang dihormati dan dimuliakan.

Piti Maranggangu adalah proses pernikahan yang membutuhkan belis. Ini adalah mahar yang diberikan kepada pengantin perempuan, yang dimaksudkan sebagai penghargaan terhadap perempuan dalam pernikahan yang tidak dapat ditawar.

Prosesnya tidak hanya melibatkan orang tua kedua belah calon pengantin, akan tetapi juga seluruh keluarga besar dan para roh leluhur.

Dengan demikian, mempraktikkan Piti Marangangu sama saja dengan mempertaruhkan nama baik keluarga besar dan leluhur.

Biasanya praktek Piti Maranggangu dilakukan dengan cara menyuruh perempuan yang akan menjadi mempelai tersebut untuk pergi ke tempat-tempat umum seperti pasar dan lainnya.

Di lokasi tersebut, sudah ada beberapa orang laki-laki yang siap untuk menangkap dan menculiknya untuk segera dibawa menuju rumah calon mempelai laki-laki dari perempuan tersebut.

Seorang perempuan Sumba akan diculik dan dipaksa menikah untuk aslan yang dibenarkan secara budaya, terlepas dari kesediaan perempuan tersebut untuk menikahi pria yang "menculiknya" tersebut.

Setelah perempuan yang diculik tiba di rumah calonnya tersebut—yang tidak dia ketahui—akan ada proses lanjutan di mana keluarga dari perempuan datang dan mencari-cari anak mereka yang baru diculik itu.

Atau, keluarga dari pihak laki-laki akan memberitakan kepada keluarga pihak perempuan bahwasannya anak mereka ada di kampung keluarga pihak laki-laki.

Piti Maranggangu itu juga dapat terjadi karena terjadi hambatan dari peraturan adat lainnya, tetapi pihak laki-laki tetap memaksa untuk menikahinya.

Biasanya keluarga mempelai pria terhalang belis atau mahar besar dari pihak perempuan yang umumnya adalah hewan ternak.

Maka dilakukanlah ‘kawin tangkap’ tersebut, dengan dalih untuk mempersingkat segala tetek-bengek formalitas dari persetujuan angka belis di antara kedua belah keluarga.

Pihak perempuan sering kali menjadi korban dalam konteks ini, karena minimnya kesempatan atau dukungan untuk menyuarakan keberatan mereka terhadap pernikahan yang tidak mereka inginkan, demi martabat keluarga dalam struktur sosial masayarakat Sumba.

Dampak dari praktik ini sangat serius. Selain merampas kebebasan individu, kawin tangkap dapat menyebabkan masalah kesehatan mental bagi perempuan yang terpaksa menikah tanpa keinginan mereka.

Dalam masyarakat patriarkal seperti Sumba, perempuan sering kali tidak memiliki suara dalam keputusan yang memengaruhi hidup mereka.

Penelitian menunjukkan bahwa banyak perempuan mengalami trauma psikologis akibat pemaksaan ini, yang dapat berlanjut hingga dewasa.

Perkawinan dan Harga Seorang Perempuan Sumba

Menurut hukum perdata, perkawinan adalah salah satu hak asasi manusia  yang dijamin oleh negara melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah merupakan hak bagi setiap Warga Negara Indonesia.

Baca Juga: Dear Calon Pengantin, Ini 7 Perawatan Kulit Biar Wajah Bersinar di Hari Pernikahan

Dalam Pasal 28B Ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, disebutkan bahwa “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”.

Kawin tangkap yang dilakukan dengan cara pemaksaan dan tidak disetujui oleh pihak perempuan, telah bertentangan dengan asas hukum perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, sebagaimana diubah dan diperbaharui Undang-undang Nomor 16 tahun 2019 tentang Perkawinan dengan tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.

Pemaksaan terhadap perempuan tidak akan bisa mewujudkan keluarga yang bahagia. Pemaksaan terhadap perempuan untuk menikah dengan orang yang tidak dia sukai, dapat menyebabkan masalah gangguan mental maupun psikologis.

Kawin tangkap jarang diselesaikan secara hukum. Hal ini disebabkan oleh sistem sosial Sumba yang lebih mengutamakan harmoni serta menjaga relasi antar keluarga.

Hal ini dikarenakan sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak dari adat-istiadat.

Hal itu disebabkan karena nilai-nilai budaya itu merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat, mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup.

Dengan demikian, ini dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan para warga masyarakat tadi.

Akibatnya, perempuan korban kawin tangkap harus menurut pada pemaksaan tersebut. Namun, adanya hukum nasional memberikan keberanian bagi perempuan atau korban untuk menolak praktik ini.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber: Jurnal Pemikiran Dan Penelitian Psikologi