Minggu, 20 FEBRUARI 2022 • 16:47 WIB

Lebih Mematikan dari COVID-19, Pandemi Flu Spanyol Berakhir Justru Bukan karena Vaksin

Author

Suasana di rumah sakit di Batavia saat Pandemi Flu Spanyol. (Google.com)

Lebih dari 100 tahun yang lalu, pandemi yang lebih mematikan terjadi--lebih parah dari Pandemi COVID-19 saat ini. Pandemi itu yakni Flu Spanyol 1918, yang juga disebut sebagai "pandemi yang terlupakan".

Dinamai "pandemi yang terlupakan" lantaran penyebarannya dibayangi tenggat waktu Perang Dunia I dan ditutupi oleh upaya meredam pemberitaan dan sensor media (media blackouts), selain pencatatan yang buruk.

Wabah Flu Spanyol 1918 memang lebih mematikan, merujuk pada berbagai laporan yang menyebut bahwa pandemi itu telah menginfeksi sekitar 500 juta orang--sekitar sepertiga dari populasi planet ini saat itu--dan membunuh sekitar 20 juta hingga 50 juta nyawa manusia. Dan, sekitar 675.000 korban meninggal di antaranya adalah orang Amerika Serikat.

Sementara COVID-19, menurut data seketika Worldometer, sampai hari ini telah menginfeksi 423 juta jiwa di dunia, dengan 1,5 juta kasus baru, merenggut total 5,8 juta jiwa, dan 348 juta orang dinyatakan sembuh. 

Berbeda dengan sekarang, Flu 1918 pertama kali diamati di Eropa, Amerika Serikat, dan sebagian Asia, sebelum kemudian menyebar dengan cepat ke seluruh dunia. Pada saat itu tidak ada obat atau vaksin yang efektif untuk mengobati jenis flu pembunuh ini.

Warga diperingatkan untuk mengenakan masker, sekolah, gedung bioskop, dan pusat-pusat bisnis ditutup, mayat ditumpuk di kamar mayat darurat sebelum virus ini mengakhiri "pawai" global yang mematikan.

Tidak ada yang bisa memastikan bahwa Flu Spanyol memang berasal dari Spanyol. Disebut Flu Spanyol karena Spanyol adalah negara pertama yang secara terbuka membicarakan virus ini. Selama Perang Dunia I, sebagaimana ditulis banyak media dunia, Spanyol memiliki pers yang bebas--tidak seperti sebagian Eropa pada masa itu.

Spanyol juga netral selama Perang Dunia I, sementara negara-negara lain yang berperang tidak mau mengakui bahwa pasukan mereka mungkin banyak yang gugur karena virus ini. Jadi, sementara seluruh dunia berfokus pada memenangkan perang, Spanyol banyak melaporkan pandemi influenza.

Para ilmuwan, menurut laporan History (media yang berafiliasi dengan A&E Television Network), masih belum tahu pasti dari mana asal Flu Spanyol, meskipun teori menunjuk ke Prancis, China, Inggris, atau Amerika Serikat, di mana kasus pertama dilaporkan di Camp Funston di Fort Riley, Kansas, 11 Maret 1918.

Sebagian orang percaya tentara yang terinfeksi menyebarkan penyakit ke kamp militer lain di seluruh negeri, kemudian membawanya ke luar negeri. Pada bulan Maret 1918, 84.000 tentara Amerika menuju ke seberang Atlantik dan diikuti oleh 118.000 lagi pada bulan berikutnya.

Flu Spanyol Berakhir Bukan karena Penemuan Obat

Pandemi Flu Spanyol berakhir pada musim panas 1919, tapi bukan karena manjurnya formula vaksin karena vaksin influenza berlisensi pertama tersedia di AS jauh setelahnya, yakni 1940-an.

Dikutip dari Healthline, Dr Keith Armitage, profesor kedokteran di divisi penyakit menular di Case Western Reserve University, mengatakan bahwa itu mungkin karena kombinasi kekebalan kelompok dan virus bermutasi sehingga dampak yang ditimbulkan semakin tidak parah.

"Strain influenza 1918 tidak pernah hilang, melainkan terus bermutasi dan versinya terus beredar hingga hari ini," kata Keith, dilansir Antara.

Pendapat yang hampir sama juga menyebutkan bahwa pandemi Flu Spanyol berakhir karena yang terinfeksi meninggal atau mengembangkan kekebalan.

Ya, tidak ada vaksin waktu itu, hanya ada aspirin yang direkomendasikan yang belakangan berdasarkan kajian medis dan ilmu pengetahuan justru berpotensi menimbulkan keracunan. Gejala keracunan aspirin termasuk hiperventilasi dan edema paru, atau penumpukan cairan di paru-paru.

Beda dengan COVID-19

Menurut kajian Clevelandclinic.org, virus flu Spanyol dan virus COVID-19 tidak sama. Mereka serupa karena keduanya adalah virus yang menyebar melalui pernapasan dalam tetesan pernapasan yang terinfeksi.

Selain itu, keduanya bekerja dan dapat menyebabkan sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS), dan cara penanganannya pun sama, yakni dengan tes, vaksin dan obat, isolasi dan karantina wilayah untuk menekan penyebaran, gunakan masker, mencuci tangan dengan sabun, dan menghindari kerumunan.

Pelajaran dari Masa Lalu

Kasus pandemi Flu Spanyol 1918, kemudian wabah 1957-1958 yang menewaskan sekitar 2 juta orang di seluruh dunia, lalu 1968-1969 yang menewaskan sekitar 1 juta orang, dan flu babi dari 2009 hingga 2010 hendaknya menjadi pelajaran berharga bagi umat manusia di Bumi.

Tidak berlebihan kiranya jika pendiri Microsoft Bill Gates yang sekarang banyak berkiprah di misi kemanusiaan, mengatakan bahwa kesiapan menghadapi skenario pandemi di mana mendatang harus dipersiapkan sejak awal sehingga tidak banyak menelan korban jiwa dan manusia bisa beradaptasi dengan baik.

Meski pandemi COVID-19 belum juga berakhir hingga saat ini, dengan vaksinasi yang masif di seluruh dunia dan upaya menjalani cara dan pola hidup baru yang disebut 'protokol kesehatan (prokes)' bakal mempercepat kita menuju endemi. Kajian bahwa Omicron sebagai mutasi virus corona yang kekuatannya semakin melemah semoga benar adanya.

Artikel Menarik Lainnya:

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber: