Supri, milenial yang memilih jadi petani (Z Creators/Edelweis Ratushima)
Seiring berkembangnya zaman dan teknologi, menjadi petani dianggap bukanlah profesi yang menarik. Para milenial banyak yang enggan menyentuh dunia pertanian. Padahal negara kita adalah negara agraris. Bagaimana kalau petani kita habis tidak ada regenerasi?
Namun tidak bagi milenial Muhammad Wiji Supriyono (33), warga Desa Bengking, Jatinom, Klaten, Jawa Tengah ini.
Ia yang semula ingin bekerja sebagai pelayar, mendadak mengurungkan niatnya dan memilih menjadi petani.
"Dulu saya kuliah di pelayaran. Namun setelah lulus, saya urungkan berlayar karena ingin menjadi petani saja meneruskan pekerjaan ayah saya," kenang pria yang biasa disapa Supri ini, saat ditemui di rumahnya.
Sebagai anak lelaki bontot dari tujuh bersaudara perempuan semua, ia merasa terpanggil untuk meneruskan pekerjaan orang tuanya. Ini sebagai bukti berbaktinya sang anak.
Pada 2013, Supri menanam ratusan pohon jeruk. Ketika dijual secara langsung, harganya enggak sesuai harapan. Ia memutar otak, bagaimana agar jeruknya bisa dihargai tinggi. Kemudian timbullah ide membuka agrowisata petik buah jeruk di kebunnya.
"Namun karena usia panen jeruk enggak panjang, konsep agrowisata kurang maksimal. Saya beralih ke buah kelengkeng, agar usia panennya lebih panjang, sehingga pengunjung enggak terlalu lama menunggu untuk kembali lagi ke desa kami,'' tutur Supri.
Untuk mengajak warga sekitar menanam kelengkeng, enggak semudah membalikkan tangan. Ia harus memberi contoh menanam pohon kelengkeng di depan rumahnya terlebih dahulu. Setelah berbuah, ia bagikan kepada tetangganya, agar tertarik ikut menanam kelengkeng.
Butuh waktu yang panjang untuk mengedukasi warga sekitar. Namun Supri tak patah semangat. Terbukti, di kampungnya, kini hampir setiap rumah mempunyai minimal satu buah pohon kelengkeng. Bahkan ada yang 5 sampai 10 pohon.
"Harapan saya, bila musim buah kelengkeng, kampung kami mempunyai stok banyak. Pengunjung tinggal memilih. Pemilik pohon pun diuntungkan karena mendapatkan uang. Perekonomian warga bergerak," jelas Supri.
Ia sendiri mengaku menanami kebunnya seluas 2 hektar dengan ratusan pohon kelengkeng. Disela-sela itu, ia tanami juga dengan aneka sayur dan lombok atau cabai.
Karena pohon kelengkeng banyak, ia mengembangkan juga dengan budidaya madu klanceng.
Dari keberhasilannya menjadi petani sekaligus penggerak, banyak pihak yang datang padanya. Bahkan siswa TK, SMA, mahasiswa, sampai para petani, meminta berkunjung ke rumahnya.
Akhirnya Supri membuka kunjungan siswa dengan harga paket, untuk memperkenalkan dunia pertanian pada anak-anak, melalui medsos yang ia kelola. Nah kan, akhirnya, rejekilah yang akan datang menemui orang-orang yang mau bekerja keras. Contohnya ya Supri ini.
Tujuannya, agar anak-anak senang menjadi seorang petani. Tentu saja petani yang modern.
Paket yang ia tawarkan cukup terjangkau. Untuk paket menanam dan memetik komoditas Rp5 ribu, mencicipi madu lebah Rp5 ribu, berkunjung ke UMKM plus mencicipi seharga Rp7 ribu. Jadi total Rp17 ribu. Apabila ingin berkeliling kampung naik gerobak sapi, tambah lagi Rp250 ribu untuk 10 orang.
Supri juga menyediakan paketan lengkap dengan snack dan makan besar, tentu saja biaya paket juga bertambah.
Tapi khusus pengunjung dari Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), Supri yang suka membagi ilmu pertanian ini punya harga khusus.
"Bila petani, harganya khusus. Hanya membayar apa yang sudah mereka pakai. Misalnya, praktek menggunakan pupuk, kompos, madu, baru mereka ganti seharga itu," tambah Supri.
Dengan gerakan yang dilakukan Supri ini, pemilik gerobak sapi juga merasa diuntungkan. Hampir setiap hari mereka mendapatkan job.
Seperti pengakuan Riyanto, anak muda yang menarik gerobak.
"Ini gerobak bapak saya. Daripada nganggur di rumah, ini saya gunakan untuk mengisi paket agro eduwisata ini. Per hari hasilnya lumayan," kata Riyanto.
Biasanya gerobak sapi ini digunakan pemiliknya untuk mengangkat rumput, beras, bekatul, dan lain-lain.
Seiring berkembangnya jaman, sekarang sudah banyak alat transportasi modern yang lebih praktis. Fungsi gerobak mulai ditinggalkan.
Nah, untuk mengenang masa lalu sekaligus memperkenalkan alat transportasi tradisional pada anak-anak, Supri menghadirkan gerobak ini lagi. Karena warga sekitar selain menjadi petani, sekaligus peternak sapi.
Dengan naik gerobak berkeliling kampung sejauh 2 kilometer, pengunjung akan disuguhi alam pedesaan yang masih asri, hijau royo-royo, jauh dari polusi.
Bila bernyali, boleh naik sapinya langsung. Dijamin aman, karena didampingi sang joki.
Nesya, seorang mahasiswi asal Jakarta yang kebetulan KKN di Desa Bengking, mengaku belum pernah sekalipun melihat gerobak sapi secara langsung. Apalagi menaikinya.
"Baru kali ini ikut naik gerobak keliling kampung, seru banget. Selain naik gerobak, saya memberanikan diri naik sapinya. Waduh, awalnya takut banget, lama-lama enjoy, asyik," kata Nesya sambil tertawa.
Selain aktif memajukan desanya dengan program agro eduwisata-nya, Supri juga aktif menjadi pengurus Petani Milenial Klaten yang anggotanya masih kurang dari 50 orang.
Artikel menarik lainnya:
Terlihat Utuh Namun Terasa Sunyi, Seperti Ini Kondisi Rumah Masa Kecil Presiden Jokowi
Nyentrik! Ibu-ibu di Inggris Raya Piknik di Kastil Pakai Batik dan Kebaya, Ini Alasannya
Viral! Mr Nanang, Penjual Cincau Asal Bogor yang Jago 9 Bahasa, Salah Satunya Slovakia
Misteri Makam di Tengah Jalanan Purwokerto, Gak Bisa Dipindahkan Sampai Jadi Nama Jalan
Bukan Nasi Pedas, Tapi Turis Rela Antre di Warung Siam Ubud Demi Seporsi Menu Ini!
Bikin cerita serumu dan dapatkan berbagai reward menarik! Let’s join Z Creators dengan klik di sini.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: