Sabtu, 01 MARET 2025 • 14:09 WIB

Guru Besar Hukum Ketenagakerjaan UGM Angkat Suara Soal Polemik THR Mitra Ojol, Berdampak ke Ekosistem Ekonomi Gig

Author

  Ilustrasi: Sejumlah pengemudi ojek daring menunggu penumpang di Jalan Raya Margonda, Kota Depok, Jawa Barat. (ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya)
INDOZONE.ID - Kontroversi mengenai status kemitraan mitra pengemudi dan tuntutan pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) dari perusahaan aplikasi transportasi daring semakin menjadi sorotan di Indonesia.

Seiring berkembangnya ekonomi digital, muncul perdebatan tentang apakah mitra pengemudi harus dianggap sebagai pekerja atau tetap diperlakukan sebagai mitra. Hal ini menjadi polemik yang terus dipertanyakan oleh berbagai pihak.

Meskipun ada niat baik untuk memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi mitra pengemudi, perubahan status kemitraan harus dilakukan secara sistemik. Jika pemerintah memaksakan perubahan ini tanpa dukungan sistem yang tepat, dampaknya bisa merusak industri ride-hailing, menghambat pertumbuhan ekonomi digital, dan mengancam kesejahteraan mitra pengemudi serta sektor lain yang bergantung pada layanan ini, seperti UMKM dan pariwisata.

Secara yuridis, hubungan antara mitra pengemudi dan perusahaan aplikasi adalah hubungan kemitraan, bukan hubungan kerja. Pasal 15 Ayat (1) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 menyatakan bahwa pengemudi berstatus mitra, bukan pekerja.

Baca Juga: Viral Wanita Ini Pesan Ojol buat Ngawal Pulang di Tengah Malam, Netizen: Pinter Mbaknya!

Meskipun Kementerian Ketenagakerjaan menangani masalah ketenagakerjaan, peraturan yang ada tidak mencakup urusan kemitraan ini, melainkan hanya hubungan kerja berdasarkan perjanjian yang memiliki unsur pekerjaan, upah, dan perintah.

Profesor Dr. Ari Hermawan, S.H., M.Hum, Guru Besar Hukum Ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), menjelaskan bahwa dalam konteks hukum ketenagakerjaan Indonesia, hubungan antara mitra pengemudi dengan perusahaan aplikasi tidak memenuhi tiga unsur yang menjadi dasar hubungan kerja.

Menurut beliau, hubungan kerja yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan harus melibatkan pekerjaan, perintah dari pengusaha, dan adanya pembayaran upah tetap.

"Mitra pengemudi bekerja dengan fleksibilitas tinggi, tanpa ikatan perintah langsung dari perusahaan, dan menggunakan sistem bagi hasil, sehingga tidak bisa dikategorikan sebagai pekerja dalam konteks hukum ketenagakerjaan," ujar Profesor Ari Hermawan dalam keterangannya.

Pemerintah tampaknya tidak konsisten dalam menegakkan regulasi ini. Di satu sisi, pemerintah mengakui bahwa mitra pengemudi bukan pekerja dan tidak berhak atas perlindungan seperti THR, tetapi di sisi lain ada dorongan untuk memperlakukan mitra seperti pekerja dalam aspek tertentu, seperti perlindungan sosial.

Baca Juga: Posko THR Tutup H+7 Lebaran, Siap Tindak Lanjuti 1.475 Aduan yang Masuk

Inkonsistensi ini menciptakan ketidakjelasan hukum yang mengancam keberlanjutan ekosistem ekonomi gig.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, hubungan kerja harus memenuhi tiga unsur: pekerjaan, perintah, dan upah. Dalam kasus mitra pengemudi, mereka bekerja secara mandiri dengan fleksibilitas waktu, tidak ada perintah langsung dari perusahaan, dan sistem upahnya berbasis bagi hasil, bukan gaji tetap.

Oleh karena itu, hubungan ini lebih mirip dengan kemitraan daripada hubungan kerja.

Tuntutan pemberian THR untuk mitra pengemudi bertentangan dengan regulasi yang ada, karena THR hanya diberikan kepada pekerja dengan hubungan kerja. Jika pemerintah memaksakan kebijakan ini, akan terjadi benturan hukum yang dapat merusak sistem ketenagakerjaan dan berdampak negatif pada fleksibilitas kerja serta industri ride-hailing.

Kebijakan populis yang tidak mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang bisa mengurangi peluang kerja dan investasi.

Pemerintah perlu bersikap konsisten dan visioner. Jika ingin mendukung kesejahteraan mitra pengemudi, solusinya bukan dengan memaksakan kebijakan yang bertentangan dengan regulasi, tetapi melalui program perlindungan sosial atau insentif berbasis produktivitas.

Kebijakan yang tidak jelas dan inkonsisten dapat mengancam daya saing industri ride-hailing Indonesia dan mendorong perusahaan serta talenta digital untuk mencari peluang di negara lain.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber: Press Release