Rabu, 02 FEBRUARI 2022 • 20:10 WIB

Media Sosial Jadi Ajang Pamer Bikin Orang Minder Hingga Menjomblo, Ini Analisa Psikolog

Author

Ilustrasi wanita menggunakan media sosial. (Foto/yaoyaomavanas.com)

Kita semua memiliki kecenderungan untuk membandingkan diri kita dengan orang lain, baik sengaja atau tidak, online atau offline.

Ajang untuk membandingkan diri sendiri dengan orang lain makin terasa saat era digital dengan media sosial yang sehari-hari kita hadapi.

Hal ini diungkap Sabrina Laplante kandidat doktor dalam bidang psikologi di University of Quebec di Montreal (UQAM) seperti yang dilansir Indozone dari CNA, Rabu (2/2/2022).

"Perbandingan semacam itu membantu kita mengevaluasi pencapaian, keterampilan, kepribadian, dan emosi kita sendiri. Ini, pada gilirannya, memengaruhi cara kita melihat diri kita sendiri," katanya.

Tapi apa dampak perbandingan ini terhadap kesejahteraan kita? Itu tergantung pada seberapa banyak kita membandingkan harta, kekayaan, mobil, rumah hingga jam tangan mewah.

Menurutnya membandingkan diri kita di media sosial dengan orang-orang yang lebih buruk dari kita membuat kita merasa lebih baik. Sebaliknya membandingkan diri kita dengan orang-orang yang memiliki kesejahteraan lebih baik dari kita, bagaimanapun, membuat kita merasa minder atau tidak mampu.

"Platform media sosial yang kita pilih juga mempengaruhi moral kita, seperti halnya situasi krisis seperti pandemi COVID-19," katanya.

Sabrina Laplante sebgai mahasiswa PhD di bidang psikologi, mempelajari incel sebuah komunitas pria yang tertarik dengan wanita secara seksual, pria yang mendapat penolakan wanita jadi penyebab mereka harus menjomblo.

"Saya percaya bahwa perbandingan sosial, yang memainkan peran yang sama besarnya dalam kelompok-kelompok marjinal ini seperti halnya pada populasi umum, mempengaruhi kesejahteraan umum kita di era media sosial," katanya

Tingkat perbandingan maksimal

Katanya, derajat perbandingan sosial yang dilakukan individu diduga mempengaruhi derajat motivasi yang dimilikinya.

Menurut sebuah studi oleh para peneliti di Universitas Ruhr di Bochum, Jerman, ada tingkat optimal dari perbedaan yang dirasakan antara diri sendiri dan orang lain yang memaksimalkan efek perbandingan sosial.

Secara khusus, jika kita melihat diri kita jauh lebih unggul dari orang lain, kita tidak akan termotivasi untuk memperbaiki diri jadi lebih baik laig karena kita sudah merasa bahwa kita berada dalam posisi yang nyaman.

Namun, jika kita menganggap diri kita sangat rendah, kita tidak akan termotivasi untuk meningkatkan karena tujuan tampaknya terlalu sulit untuk dicapai.

Dengan kata lain, para peneliti mencatat, di luar atau di bawah tingkat optimal perbedaan yang dirasakan antara diri sendiri dan orang lain, seseorang tidak lagi berusaha.

Dengan mempersepsikan diri sendiri sebagai inferior, individu akan mengalami emosi negatif, rasa bersalah dan menurunkan harga diri.

Perbandingan yang tidak realitstis di media sosial

Oleh karena itu, perbandingan sosial memiliki konsekuensi baik bagi perilaku kita maupun bagi kesejahteraan psikologis kita.

Namun, membandingkan diri Anda dengan orang lain saat makan malam di restoran tidak selalu memiliki efek yang sama seperti membandingkan diri Anda dengan orang lain di Facebook.

"Lebih mudah untuk menemukan keberadaan yang menarik atau memperindah aspek-aspek tertentu pada platform media sosial daripada di kehidupan nyata," katanya.

Munculnya media sosial, yang memungkinkan kita untuk berbagi konten di mana kita selalu muncul dalam kondisi terbaik kita.

Menurutnya kondisi ini telah membuat banyak peneliti mempertimbangkan kemungkinan bahwa ini memperkuat perbandingan yang tidak realistis.

Penelitian menunjukkan bahwa semakin banyak waktu yang dihabiskan orang di Facebook dan Instagram, semakin mereka membandingkan diri mereka secara sosial.

Perbandingan sosial ini terkait, antara lain, dengan harga diri yang lebih rendah dan kecemasan sosial yang lebih tinggi.

Sebuah studi yang dilakukan oleh para peneliti di National University of Singapore menjelaskan hasil ini dengan fakta bahwa orang pada umumnya menyajikan informasi positif tentang diri mereka sendiri di media sosial.

Terkadang orang-orang juga ingin membuat dirinya lebih baik lagi dengan filter, yang menciptakan kesan bahwa ada perbedaan besar antara mereka dan orang lain.

Pada gilirannya, para peneliti yang bekerja di Facebook mengamati bahwa semakin banyak orang melihat konten di mana orang-orang berbagi aspek positif dari kehidupan mereka di platform, semakin besar kemungkinan mereka membandingkan diri mereka dengan orang lain.

COVID-19: perbandingan sosial kurang negatif

Namun, apakah pandemi Covid-19 membuat kelas sosial jadi kian meruncing akibat orang suka pamer kekayaan di media sosial?

Sebuah studi dari para peneliti di Universitas Kore di Enna, Italia, menunjukkan bahwa sebelum locdown, tingkat perbandingan kelas sosial cukup tinggi hingga berdampak pada tekanan lebih besar seperti kesepian dan kehiduapn yang kurang memuaskan.

Tapi ini tidak lagi terjadi selama locdown.

Salah satu alasannya adalah dengan membandingkan diri mereka dengan orang lain selama masa lockdown, orang merasa mereka berbagi kesulitan yang sama. Itu mengurangi dampak negatif dari perbandingan kelas sosial.

"Jadi, membandingkan diri sendiri dengan orang lain secara online selama masa-masa sulit dapat menjadi kekuatan positif untuk meningkatkan hubungan dan berbagi pengalaman yang sama seperti persaan perasaan takut dan ketidakpastian," sebutnya.

Efek berbeda tergangung media sosial

Ada perbedaan yang harus dibuat tergantung pada platform media sosial yang digunakan seseorang. Para peneliti di University of Lorraine, Prancis, menganggap bahwa platform media sosial tidak boleh disatukan.

Misalnya, penggunaan Facebook dan Instagram dikaitkan dengan kesejahteraan yang lebih rendah, sementara Twitter dikaitkan dengan emosi yang lebih positif dan kepuasan hidup yang lebih tinggi.

Satu penjelasan yang mungkin: Facebook dan Instagram dikenal sebagai tempat untuk presentasi diri yang positif, tidak seperti Twitter, di mana orang lebih suka untuk berbagi pendapat dan emosi yang mereka rasakan.

Dia menjelaskan mencoba untuk mendapatkan dukungan sosial di media sosial selama pandemi COVID-19 dapat mengaktifkan kembali emosi negatif alih-alih melepaskannya, tergantung platform media sosial yang digunakan seseorang.

"Banyak hal yang memotivasi kita untuk membandingkan diri kita secara sosial. Suka atau tidak suka, media sosial memaparkan kita pada lebih banyak motivasi itu," ujarnya.

Bergantung pada jenis konten yang dibagikan, apakah itu positif atau negatif, kita cenderung merujuknya saat mengevaluasi diri.

Berbagi konten yang membuat kita merasa baik tentang diri kita sendiri dan mendapatkan pujian dari orang lain itu bagus, tetapi Anda harus mempertimbangkan efek dari posting ini pada orang lain.

Namun secara keseluruhan, berbagi kesulitan Anda dalam kata-kata, gambar atau video tetap dapat memiliki efek positif dan membawa manfaat psikologis.

Artikel Menarik Lainnya:

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber: