Minggu, 09 JANUARI 2022 • 19:36 WIB

Menilik Kesehatan Mental Kaum Fundamentalis, Apakah Pembuang Sesajen di Semeru Termasuk?

Author

Pelaku pembuang sesajen di kaki Gunung Semeru, Lumajang. (foto: Tangkapan layar)

Seorang pria berompi hitam dengan ciri-ciri berjanggut dan memakai peci hitam, membuang dan menendang sesajen di kaki Gunung Semeru, Lumajang, Jawa Timur.

Tindakannya direkam kamera dan videonya viral di media sosial. Pria itu kini tengah diburu oleh pihak kepolisian.

Pria tersebut diduga berasal dari kelompok fundamentalis, kelompok yang di Indonesia kerap disebut dengan istilah "radikal". Setidaknya begitulah asumsi beberapa pihak sejauh ini.

"Muslim radikal intoleran aliran ISIS seperti mereka inilah penyebab utama lahirnya islamophobia. jangan salahkan jika ada ketakutan terhadap islam jika kelompok bajingan bergamis macam mereka terus dibiarkan. bantu mention bupati Lumajang pak @thoriqul.haq yuk gaes. mention sebanyak-banyaknya agar bajingan ini diburu aparat," tulis Permadi Arya di akun Instagram-nya, Minggu (9/1/2022).

"Repot memang kalau ketemu yang model2 begini. Susah banget memahami bahwa dunia bukan milik kelompoknya saja," kata putri Gus Dur, Alissa Wahid, dikutip dari pernyataannya di Twitter, Sabtu (9/1/2021).

Terlepas dari benar tidaknya pria itu termasuk kaum fundamentalis, seperti apa kiranya kesehatan mental orang-orang fundamentalis?

Menurut Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid, orang-orang fundamentalis, termasuk mereka yang melakukan aksi terorisme, pada dasarnya terdorong oleh faktor psikologis di dalam dirinya alih-alih karena faktor ajaran agama.

“Bukan faktor agama, namun karena kegelisahannya,” kata Yenny Wahid dalam webinar bertajuk 'Masa Depan Kebangsaan dan Demokrasi Indonesia', Juli 2021 lalu, seperti dilansir Antara.

Yenny Wahid bilang, terdapat banyak penyebab kegelisahan yang mendorong seseorang menjadi fundamentalis, seperti agama, politik, dan kondisi perekonomian.

“Jadi keliru kalau melihat radikalisme hanya berbasis agama,” kata Yenny.

Sementara itu, hasil penelitian yang dirilis Universitas Cambridge, Inggris, menunjukkan bahwa individu fundamentalis pada umumnya kesulitan dalam menjalankan tugas psikologis yang rumit.

Selain itu, individu fundamentalis-ekstemis memiliki kecenderungan untuk bertindak impulsif dan mencari perhatian.

Salah satu temuan paling mengejutkan dalam studi tersebut adalah bahwa individu fundamentalis esktremis cenderung melihat dunia dalam bingkai hitam dan putih, karena mereka kesulitan menjalani tugas rumit yang melewati berbagai tahapan mental.

"Individu atau otak yang kesulitan memproses dan merencanakan tindakan kompleks mungkin akan mudah terjerat ideologi ekstrem, atau ideologi otoriter yang menyederhanakan dunia," kata Dr Leor Zmigrod, peneliti di Departemen Psikologi Universitas Cambridge.

Dikutip dari penelitian yang ditulis Nur ANalia Hamida dan Fathul Lubabin Nuqul di Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang, merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Kurniawan et al. (2018), salah satu ciri berpikir seseorang yang terpapar terorisme merupakan konsep berpikir  yang cenderung tertutup (need for closure). Hal ini dikarenakan konsep berpikir yang cenderung tertutup menyebabkan cara pikir yang kaku dan merasa tidak membutuhkan informasi yang lebih luas dalam pengambilan keputusan dan pemerolehan informasi.

Artikel Menarik Lainnya:

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber:

TERPOPULER
TAG POPULER
BERITA TERBARU
Tentang Kami Redaksi Info Iklan Kontak Pedoman Media Siber Kode Etik Jurnalistik Pedoman AI dari Dewan Pers Karir