INDOZONE.ID - Tertawa yang sering dianggap sebagai bentuk kebahagiaan alami, ternyata mulai berkurang dalam hidup manusia saat memasuki usia 23 tahun.
Temuan ini merupakan hasil penelitian dari dua akademisi Stanford University di California, Amerika Serikat, yang diterbitkan dalam buku mereka yang berjudul 'Humour, Seriously'.
Jennifer Aaker, profesor psikologi di Stanford Graduate School of Business, dan Naomi Bagdonas, dosen di universitas yang sama, mengungkapkan, bagaimana tawa, senyum, serta humor mulai menghilang ketika seseorang menghadapi tuntutan kedewasaan, dan dunia kerja yang mempengaruhi kesehatan mental kereka.
Baca Juga: Riset: Usia 20-29 Tahun Rentan Alami Stres karena Kesehatan Mental
Studi pada 1,4 Juta Responden dari 166 Negara
Penelitian pengaruh tertawa terhadap kesehatan mental ini, mencakup data besar yang melibatkan 1,4 juta orang dari 166 negara.
Para responden ditanya tentang frekuensi mereka tertawa atau tersenyum, dalam sehari. Hasilnya, cukup mengejutkan. Usia rata-rata seseorang mulai jarang tertawa atau tersenyum adalah 23 tahun.
Menurut laporan yang dikutip The Times, Aaker dan Bagdonas menggambarkan fase ini sebagai momen ketika manusia, 'menukar tawa dengan dasi dan celana panjang', seolah-olah humor tidak lagi relevan dalam kehidupan yang dianggap serius serta penting.
Penyebab Penurunan Frekuensi Tawa
Para penulis dalam buku hasil penelitian tersebut menyebutkan, transisi menuju dunia dewasa, terutama memasuki dunia kerja, merupakan penyebab utama berkurangnya humor dalam kehidupan seseorang.
Tuntutan untuk bersikap serius di lingkungan kerja, membuat banyak orang merasa, tawa bukan lagi bagian dari rutinitas harian mereka.
Bagdonas juga menekankan, tekanan sosial untuk terlihat 'penting' atau 'berwibawa', seringkali menjadi penghalang utama bagi seseorang untuk membiarkan dirinya tertawa lepas.
Baca Juga: 9 Kebiasaan Sehari-hari yang Bisa Merusak Kesehatan Mental, Jangan Dilanjutin Ya!
Dampak Positif Humor yang Terlupakan
Humor, menurut para peneliti, memiliki peran penting dalam kehidupan manusia.
Selain mengurangi stres, tertawa juga meningkatkan kesehatan mental, memperkuat ikatan sosial, dan bahkan membantu meningkatkan kemampuan berpikir kreatif.
Selain itu, Aaker dan Bagdonas juga menekankan, humor bukan hanya tentang lelucon, tetapi juga tentang cara melihat dunia dengan sudut pandang yang lebih ringan dan optimis.
Pesan dari Penelitian dalam Buku 'Humour, Seriously'
Dalam buku mereka, 'Humour, Seriously', Aaker dan Bagdonas mengajak pembaca untuk kembali mengintegrasikan humor ke dalam kehidupan sehari-hari.
Mereka menyebut, humor sebagai aset yang dapat memperkaya hidup, baik di rumah maupun di tempat kerja.
Keduanya juga memberikan tips praktis bagi para pembaca untuk meningkatkan frekuensi tawa. Seperti, mengelilingi diri dengan orang-orang yang ceria, menonton komedi, atau sekadar mencari momen lucu dalam kehidupan sehari-hari.
Temuan ini menjadi tantangan bagi masyarakat modern, yang kerap terjebak dalam ritme hidup penuh tekanan.
Dalam dunia yang semakin kompetitif, tawa dan humor sering dianggap remeh. Padahal, keduanya memiliki nilai yang sangat penting untuk keseimbangan emosional.
Penting bagi individu dan organisasi untuk menciptakan lingkungan yang mendukung humor dan tawa.
Misalnya, perusahaan dapat mempromosikan budaya kerja yang lebih santai dan ramah, sehingga karyawan merasa nyaman untuk mengekspresikan sisi humoris mereka.
Baca Juga: 10 Cara Menghargai Diri Sendiri untuk Merawat Kesehatan Mental
Penurunan frekuensi tertawa di usia 23 tahun, seharusnya menjadi pengingat bagi kita semua bahwa, humor adalah bagian penting dari hidup.
Tidak peduli seberapa serius tantangan yang dihadapi, tawa memiliki kekuatan untuk meredakan ketegangan dan menciptakan hubungan yang lebih erat dengan orang lain.
Jennifer Aaker dan Naomi Bagdonas berharap, penelitian mereka dapat menginspirasi lebih banyak orang untuk membawa humor kembali ke dalam hidupnya.
Bukan hanya sebagai hiburan, tetapi juga sebagai strategi untuk menghadapi kehidupan dengan lebih baik.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: The Times