INDOZONE.ID - Di tengah tekanan hidup yang semakin meningkat, pembahasan mengenai kesehatan mental menjadi semakin umum. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan kesehatan mental?
Apakah hanya sebatas tidak mengidap gangguan mental yang dapat diidentifikasi? Ataukah berarti kita harus terus-menerus merasa bahagia?
Walaupun kedua hal tersebut berkaitan dengan konsep kesehatan mental, sebenarnya kesehatan mental jauh lebih kompleks daripada sekadar terbebas dari gangguan jiwa dan selalu berpikiran positif.
Sering kali, orang salah memahami bahwa kondisi mental yang buruk sama dengan memiliki gangguan kejiwaan.
Padahal, kesehatan mental mencakup kondisi kesejahteraan psikologis seseorang, baik mereka mengalami gangguan psikiatri maupun tidak.
Kenyataannya, kesehatan mental jauh lebih luas daripada sekadar menghindari gangguan seperti kecemasan atau depresi.
Ini juga mencakup bagaimana seseorang merasakan emosi, cara menghadapi tantangan, serta beradaptasi dengan dinamika kehidupan yang tak bisa dihindari.
Menelusuri Jejak Sejarah Kesehatan Mental dalam Psikologi
Sejak psikologi berkembang sebagai bidang ilmu yang berdiri sendiri, terpisah dari filsafat dan biologi, para ahli terus meneliti asal mula gangguan mental.
Kesehatan mental mulai diakui secara resmi sebagai cabang studi pada tahun 1946, bertepatan dengan Konferensi Kesehatan Internasional.
Pada kesempatan tersebut, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun dibentuk.
Dalam konstitusinya, WHO menegaskan bahwa kesehatan jiwa adalah bagian esensial dari kesehatan menyeluruh, bahkan jika seseorang tidak memiliki gangguan mental yang terdiagnosis.
Pada awal abad ke-20, di Amerika Serikat mulai muncul gerakan mental hygiene.
Baca Juga: 5 Strategi menjaga Kesehatan Mental dan Emosional saat Berpuasa
Gerakan ini bertujuan memperjuangkan hak-hak individu dengan kondisi kejiwaan, atau yang dikenal sebagai "sakit jiwa," dengan pendekatan yang lebih berperi-kemanusiaan.
Hal ini didorong oleh kenyataan bahwa sepanjang sejarah, orang-orang dengan gangguan mental kerap menjadi korban perlakuan buruk, diabaikan, dan tidak memperoleh perawatan yang memadai.
Walaupun stigma seputar penyakit mental masih merajalela, kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjalani perawatan, seperti terapi psikologis semakin meningkat — baik bagi mereka yang mengalami gangguan mental maupun yang tidak.
Di samping itu, berbagai studi telah membuktikan bahwa kondisi mental yang sehat berkontribusi pada kualitas hidup yang lebih baik.
Contohnya seperti meningkatnya produktivitas, terjalinnya hubungan sosial yang lebih kuat, prestasi akademis yang lebih tinggi, serta hubungan pribadi yang lebih sehat.
Hal-hal yang Mempengaruhi Kesehatan Mental
Kesehatan mental tidak hanya berkaitan dengan kondisi emosional atau perasaan kita, tetapi juga melibatkan cara kita berpikir, berperilaku, dan menyikapi berbagai tantangan dalam keseharian.
Semua aspek tersebut dipengaruhi oleh kombinasi faktor yang beragam, mulai dari aspek biologis hingga pengalaman hidup.
Berikut ini adalah sejumlah faktor yang menurut para pakar sangat mempengaruhi kondisi kesehatan mental.
Kepuasan Hidup
Sejauh mana kita merasa puas dan terpenuhi dalam menjalani hidup ternyata menjadi aspek krusial dalam psikologi kesehatan mental.
Sering kali, kemampuan individu untuk merasakan kebahagiaan dalam hidup dijadikan tolok ukur dalam menilai kondisi kesehatan mental dan kesejahteraan secara keseluruhan.
Lalu, apa yang sebenarnya mendorong kita merasa puas dengan kehidupan kita? Ada sejumlah faktor yang terbukti berkontribusi besar terhadap tingkat kepuasan hidup, di antaranya sebagai berikut.
- Tidak adanya rasa sakit
- Hubungan yang baik dengan orang lain
- Rasa memiliki atau menjadi bagian dari suatu komunitas
- Aktif dalam pekerjaan maupun kegiatan rekreasi
- Rasa pencapaian dan kebanggaan terhadap diri sendiri
- Pandangan positif terhadap diri sendiri
- Rasa kemandirian atau kemampuan untuk membuat keputusan sendiri
- Perasaan penuh harapan
Ketangguhan (Resiliensi)
Resiliensi merujuk pada kemampuan untuk pulih dari masa-masa sulit. Individu yang memiliki ketahanan mental biasanya memandang kemampuan mereka dalam menghadapi rintangan secara positif dan tidak segan untuk mencari dukungan dari orang lain saat diperlukan.
Dengan tingkat resiliensi yang kuat, seseorang bukan hanya mampu bertahan menghadapi tekanan, tetapi juga dapat berkembang bahkan dalam kondisi yang menantang.
Dukungan Sosial
Memiliki dukungan sosial yang baik sangat berperan dalam mempertahankan kesehatan mental yang baik.
Rasa kesepian diketahui berhubungan dengan sejumlah masalah kesehatan, baik fisik maupun mental, seperti penyakit jantung, depresi, penurunan daya ingat, penyalahgunaan zat terlarang dan alkohol, serta gangguan pada fungsi otak.
Perubahan besar dalam hidup, seperti memulai kuliah, menghadapi tantangan sosial, pindah pekerjaan, atau mengalami perceraian — kadang dapat melemahkan jaringan dukungan sosial yang kita miliki.
Inilah sebabnya mengapa masa-masa transisi seperti ini sering kali berdampak negatif pada kondisi kesehatan mental kita.
Beruntung, hasil riset mengungkapkan bahwa yang terpenting bukanlah jumlah hubungan sosial yang kita punya, melainkan seberapa baik kualitas dari hubungan-hubungan tersebut yang benar-benar berdampak signifikan.
Fleksibilitas
Harapan dan ekspektasi yang terlalu kaku terkadang justru memperbesar tekanan.
Kemampuan untuk bersikap fleksibel secara emosional bisa jadi sama krusialnya dengan fleksibilitas dalam berpikir.
Individu yang sehat secara mental mampu merasakan berbagai emosi dan membiarkan dirinya untuk mengekspresikannya secara alami.
Namun, ada pula orang-orang yang memandang beberapa emosi sebagai sesuatu yang tidak pantas atau terlalu berat, sehingga mereka cenderung menekan, menjauhkan diri, atau bahkan menyangkal perasaan tersebut.
Minimnya fleksibilitas psikologis telah terbukti berkaitan dengan berbagai gangguan mental.
Riset menunjukkan bahwa memiliki fleksibilitas yang lebih tinggi dapat membantu menciptakan keseimbangan hidup yang lebih sehat, serta meningkatkan daya tahan individu dalam menghadapi tantangan.
Faktor yang Memicu Gangguan Kesehatan Mental
Berdasarkan data dari National Alliance on Mental Illness (NAMI), sekitar satu dari lima orang dewasa di Amerika Serikat menghadapi permasalahan kesehatan mental setiap tahunnya.
Beragam faktor risiko dapat memicu meningkatnya peluang seseorang mengalami gangguan atau penurunan dalam kesehatan mental mereka.
Diskriminasi
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa diskriminasi dapat memberikan pengaruh negatif terhadap kesehatan mental.
Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena faktor pribadi seperti usia, ras, etnis, disabilitas, orientasi seksual, atau identitas gender, sangat berisiko mengalami kecemasan dan depresi cenderung meningkat.
Paparan terhadap Trauma
Menghadapi pengalaman traumatis bisa mempengaruhi kondisi mental seseorang, baik secara langsung maupun dalam jangka waktu yang lama.
Trauma sering dikaitkan dengan timbulnya rasa cemas, depresi, perubahan mood seperti meningkatnya kemarahan dan mudah tersulut emosi, rasa putus asa, hingga munculnya gangguan stres pasca-trauma (PTSD).
Riwayat Keluarga dengan Gangguan Mental
Studi menemukan bahwa sejumlah gangguan mental, seperti attention-deficit / hyperactivity disorder (ADHD), bipolar, depresi mayor (MDD), dan skizofrenia, cenderung diwariskan dalam keluarga.
Pendapatan Rendah
Pendapatan yang minim sering dikaitkan dengan peningkatan stres, kecemasan, serta depresi.
Selain itu, keterbatasan finansial juga dapat menyulitkan seseorang untuk mengakses layanan kesehatan mental yang diperlukan.
Penyakit Medis
Penyakit kronis yang mengharuskan seseorang mengubah pola hidupnya bisa menyebabkan tekanan mental, termasuk munculnya gejala depresi.
Akses yang Terbatas ke Layanan Kesehatan
Akses yang mudah ke layanan medis sangat berpengaruh terhadap hasil kesehatan yang baik dalam jangka panjang.
Sebaliknya, jika seseorang mengalami hambatan dalam memperoleh perawatan yang dibutuhkan, kondisi kesehatan fisik dan mental mereka dapat memburuk.
Harga Diri yang Rendah
Orang yang memiliki rasa percaya diri yang rendah cenderung merasa bahwa mereka tidak pantas merasakan kebahagiaan atau membangun hubungan yang sehat.
Baca Juga: 5 Cara Menjaga Kesehatan Mental di Tengah Kesibukan Kerja
Tingkat harga diri yang rendah ini meningkatkan kemungkinan mereka menghadapi masalah seperti kecemasan, depresi, maupun penyalahgunaan zat.
Kemampuan Sosial yang Rendah
Interaksi sosial yang kuat merupakan pilar utama dalam menjaga kesehatan mental.
Jika seseorang kesulitan dalam membangun dan memelihara hubungan, kesejahteraan mentalnya bisa terganggu.
Kurangnya kemampuan untuk bersosialisasi sering dikaitkan dengan perasaan kesepian, tingginya tingkat stres, dan penurunan kondisi kesehatan fisik.
Ketidaksetaraan Sosial
Terbatasnya akses terhadap fasilitas dan layanan masyarakat akibat faktor-faktor pribadi seperti usia, gender, keyakinan agama, ras, disabilitas, atau identitas sosial lainnya, dapat memperbesar kemungkinan seseorang mengalami depresi.
Penyalahgunaan Zat
Penyalahgunaan alkohol, obat-obatan, serta zat terlarang lainnya bisa menimbulkan efek negatif yang signifikan terhadap kesehatan mental.
Selain itu, perilaku ini juga dapat memicu timbulnya berbagai gangguan mental. Konsumsi zat-zat tersebut sering kali dikaitkan dengan meningkatnya kasus kecemasan, depresi, dan gangguan tidur seperti insomnia.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Verywellmind