Meutya Hafid saat disandera di Irak. (Istimewa)
Pada 18 Februari 2005 menjadi hari yang paling menegangkan bagi Meutya Hafid dan rekan sesama jurnalisnya, Budianto. Dua jurnalis Metro TV ini disandera selama 7 hari atau 168 jam oleh kelompok yang disebut Mujahidin di Irak.
Kala itu, Meutya belum lama pulang dari Aceh untuk meliput tsunami yang terjadi pada Desember 2004. Dia dikirim ke Irak bersama satu orang rekannya untuk meliput pemilu pertama Irak setelah jatuhnya Saddam Husain.
Dikutip dari Tabloiddiplomasi.org, Meutya dalam wawancaranya pada tahun 2009 silam mengatakan bahwa dirinya berangkat ke Irak dilandasi dengan itikad baik. Dia percaya bahwa segala sesuatu yang diniatkan baik juga akan menghasilkan kebaikan.
Meutya menuturkan bahwa kehadirannya di Irak ingin menghadirkan berita yang berimbang. Pemberitaan seputar Irak kala itu hanya didominasi oleh media barat.
Meutya kemudian menceritakan bahwa KBRI Baghdad masih ditutup ketika ia berangkat ke Irak. Penutupan tersebut sebagai bentuk tidak mendukung invansi pasukan koalisi ke Irak.
"Saya berangkat ke Irak sejak invasi pasukan koalisi ke Irak ketika invasi tahun 2003 dan masih memiliki beberapa kontak person termasuk staff lokal KBRI. Namanya Nasser, ia adalah warga Irak yang pernah bekerja sebagai staff lokal di Kedutaan Indonesia di Irak," kata Meutya.
Jurnalis perempuan sahabat Najwa Shihab itu kemudian menceritakan proses penangkapan dan penyanderaan dirinya dan Budianto. Meutya menuturkan proses penangkapan sangat menegangkan layaknya penyanderaan seperti yang dilihat di film-film.
Meutya kala itu sudah berpikir bahwa ia tidak akan selamat dan akan langsung ditembak. 3 penyandera membawa senjata api yang bentuknya seperti AK 47.
Penyandera tersebut mengambil alih mobil dan memegang Meutya dengan menodongkan senjata. Sementara itu, matanya ditutup rapat dengan sorban. Meutya dibawa oleh penyandera ke daerah gurun dengan menempuh perjalanan 2 jam.
"Disaat itu saya sadar, kami diculik dan akan terjadi proses negosiasi dengan pemerintah. Saat itu sangat besar harapan kami agar pemerintah merespon dengan cepat," ungkap Meutya.
Meutya tidak tahu persis apa motif para mujahidin tersebut melakukan sandera. Motif penyanderaan memiliki karakteristik seperti motif balas dendam, motif ekonomi dan motif politik.
Kala itu, Meutya berusaha menjelaskan satu per satu motif-motif yang dituduhkan penyandera. Meutya menegaskan bahwa Indonesia tidak mendukung perang di Irak, sehingga motif balas dendam pun gugur.
Selama disandera, mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena putus komunikasi. Tidak ada signal di gurun dan seluruh perangkat komunikasi disita oleh kelompok penyandera tersebut.
Saat penyanderaan tersebut, mereka terang-terangan menyampaikan ketidaksukaannya dengan media karena menyampaikan pemberitaan yang tidak berimbang terkait perang Irak.
Meutya juga menjelaskan bahwa Indonesia baru saja mengalami bencana besar yaitu tsunami di Aceh. Jika penyandera menginginkan uang, Indonesia tidak bisa mewujudkannya. Karena hal tersebut, mereka jadi lebih bersimpati.
Mereka juga ternyata menginginginkan perhatian besar dari media lokal dan internasional untuk berbicara di depan masyarakat dunia.
"Mereka juga menginginkan semacam pengakuan dari pemerintah Indonesia yang akhirnya terwujud dalam bentuk pernyataan Presiden dan bahkan tokoh-tokoh masyarakat yang luar biasa marak, yang memohon pembebasan Meutya-Budianto," ujat Meutya.
Berkat segala upaya yang dilakukan oleh semua pihak pemerintah, Meutya akhirnya dibebaskan. Para penyandera berubah sikap ketika mereka yakin bahwa Meutya dan Budianto adalah warga Indonesia dan beragama Islam.
Namun, Meutya meyakini bahwa faktor yang paling berpengaruh adalah karena ia meupakan warga Indonesia. Sebab, Meutya berulangkali menekankan bahwa Indonesia tidak mengirimkan pasukan ke Irak dan tidak mendukung invasi yang dilakukan Amerika Serikat tahun 2003.
Banyaknya simpati dan dukungan dari tokoh-tokoh penting termasuk Presiden Indonesia kala itu juga membuat para penyandera heran. Dukungan tersebut terus ditayangkan di televisi nasional selama proses penyanderaan masih berlangsung.
Setelah berhasil dibebaskan, Meutya dan rekannya pun akhirnya dikirim kembali ke Jakarta dan dapat berkumpul kembali bersama keluarga.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: