Rabu, 06 NOVEMBER 2024 • 13:33 WIB

Menyederhanakan Bahasa Ilmiah: Langkah Penting dalam Komunikasi Sains untuk Publik

Author

Ilustrasi menulis motto skripsi

INDOZONE.ID - Dalam dunia akademik, penelitian yang berkualitas diakui dan disebarluaskan melalui publikasi ilmiah di platform seperti Scopus atau Web of Science.

Publikasi ini menjadi rujukan bagi akademisi lain untuk mengembangkan pengetahuan baru dan berkontribusi dalam berbagai bidang seperti teknologi, kesehatan, dan kebijakan publik.

Namun, di balik manfaat besar yang dapat diberikan oleh riset ilmiah, terselip tantangan yang belum sepenuhnya teratasi, yaitu bahasa ilmiah yang kompleks dan sulit dipahami masyarakat umum. Sebuah kesenjangan komunikasi yang mengakibatkan informasi penting yang seharusnya bisa dinikmati masyarakat, justru tersendat di lingkup akademisi saja.

Bahasa ilmiah, dengan segala kompleksitas terminologinya, telah menciptakan jarak antara sains dan publik. Hal ini sangat disayangkan, mengingat sebagian besar penelitian didanai oleh pemerintah atau lembaga yang bergerak untuk kepentingan publik.

Baca Juga: Tingkatkan Pemahaman Jurnalistik Mahasiswa, Universitas Negeri Malang Jalin Kerja Sama Strategis dengan Indozone

Menurut van Dijck & Alinead (2020), publikasi ilmiah cenderung menggunakan istilah yang sulit dipahami, yang membuatnya kurang dapat diakses oleh masyarakat luas. Ini berarti, dalam banyak kasus, hasil penelitian yang seharusnya dapat dimanfaatkan masyarakat justru terhalang oleh "tembok bahasa."

Jika kita mempertimbangkan kebutuhan masyarakat untuk memahami ilmu pengetahuan, khususnya pada isu-isu yang relevan seperti perubahan iklim, kesehatan masyarakat, dan teknologi, jelas bahwa bahasa yang terlalu teknis dapat menjadi penghalang.

Penelitian Fahnestock (1986) menemukan bahwa gaya bahasa yang sangat formal dalam publikasi ilmiah sering kali dipertahankan demi mempertahankan kredibilitas dan otoritas ilmiah.

Sayangnya, langkah ini justru menambah kesulitan bagi masyarakat untuk mengakses dan memahami hasil penelitian.

Baca Juga: 5 Hal Penting yang Wajib Kalian Dipelajari saat Masuk Jurusan Jurnalistik

Bahasa ilmiah seolah menjadi bahasa "eksklusif" bagi komunitas akademik, membuat masyarakat luas merasa asing dengan ilmu pengetahuan yang sebenarnya sangat berhubungan dengan kehidupan sehari-hari.

Sebenarnya, sudah ada beberapa inisiatif di dunia yang mencoba menjembatani kesenjangan ini. Misalnya, The Conversation, sebuah platform yang menyajikan penelitian ilmiah dalam bahasa populer, bekerja sama dengan akademisi dan editor untuk menghasilkan artikel berbasis penelitian yang mudah dipahami.

Baca Juga: Menghargai Karya Jurnalistik, Gubsu Edy Sebut Baca Koran Sama dengan Baca Zaman

Di Indonesia, platform seperti The Conversation IDN dan Remotivi mengambil langkah serupa untuk menyederhanakan konten berbasis riset. Tetapi, jumlah platform seperti ini masih sangat terbatas dibandingkan dengan kebutuhan.

Di era digital, peluang untuk menyampaikan informasi berbasis penelitian kepada publik semakin luas. Media sosial, seperti Twitter dan Instagram, dapat menjadi alat yang efektif untuk mengomunikasikan sains.

Konsep "Tweetorials" di Twitter, misalnya, memungkinkan para peneliti untuk menyampaikan ilmu pengetahuan dalam bentuk yang lebih singkat dan ringkas, serta mudah dipahami oleh khalayak yang lebih luas.

Model komunikasi seperti ini menciptakan interaksi "many-to-many" yang memungkinkan masyarakat berinteraksi langsung dengan para peneliti, menciptakan dialog yang lebih dinamis dan meruntuhkan sekat-sekat antara ilmuwan dan masyarakat.

Tantangan berikutnya adalah bagaimana akademisi dapat dilatih untuk mengomunikasikan hasil penelitian mereka dengan lebih inklusif dan sederhana.

Pelatihan jurnalisme sains atau lokakarya komunikasi ilmiah bagi akademisi dapat membantu meningkatkan keterampilan mereka dalam menyampaikan hasil penelitian dengan bahasa yang mudah dipahami oleh publik.

Selain itu, pendekatan sosiolinguistik, seperti yang dijelaskan oleh Irwin & Wynne (1996), juga dapat menjadi panduan dalam menyesuaikan bahasa ilmiah dengan latar belakang sosial dan budaya audiens.

SainsTalk: Menghubungkan Ilmuwan dan Masyarakat Melalui Bahasa yang Lebih Bersahabat

Di Indonesia, salah satu ide yang muncul adalah pengembangan SainsTalk yang ada di Fakultas Ilmu Sosial UM.

Platform ini akan didesain untuk menyajikan hasil penelitian dalam bahasa yang mudah dipahami dengan mempertimbangkan konteks sosial budaya masyarakat Indonesia. Dengan memanfaatkan media visual, infografis, dan video edukatif, SainsTalk akan menyediakan informasi berbasis riset secara akurat namun tetap dapat diakses oleh masyarakat luas.

Selain itu, platform ini dapat menjadi wadah untuk mempertemukan para akademisi dengan masyarakat melalui sesi tanya jawab interaktif dan diskusi publik.

Mengapa Ini Penting?

Memahami sains bukan hanya hak eksklusif kaum akademisi; ini adalah hak setiap individu. Ketika masyarakat memahami sains, mereka akan lebih kritis terhadap informasi yang beredar, mampu menilai kebijakan publik dengan lebih baik, dan mengambil keputusan yang lebih cerdas dalam kehidupan sehari-hari.

Apalagi di era misinformasi seperti sekarang ini, informasi ilmiah yang akurat dan mudah dipahami menjadi semakin penting.

Dengan langkah konkret seperti penyederhanaan bahasa, penyampaian informasi melalui media sosial, dan inisiatif-inisiatif seperti SainsTalk, kita dapat mendekatkan sains ke tengah masyarakat.

Ini bukan hanya tentang menyampaikan informasi, tetapi juga tentang memberdayakan masyarakat dengan pengetahuan yang dapat mereka gunakan dalam kehidupan mereka.

Dunia akademik perlu lebih inklusif dalam mengomunikasikan hasil risetnya. Hanya dengan bahasa yang lebih sederhana dan akses yang lebih luas, kita dapat benar-benar memanfaatkan kekuatan ilmu pengetahuan untuk membangun masyarakat yang lebih kritis, cerdas, dan tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.

Banner UM Malang

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber: Amatan