Selasa, 06 DESEMBER 2022 • 16:25 WIB

Media Asing Soroti Pasal Kumpul Kebo Dipidana Setahun, Kontroversi RKUHP Disahkan DPR

Author

Ilustrasi pasangan. DPR sahkan rancangan KUHP yang dinilai kontroversi. (Reuters)

Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang disahkan DPR RI melalui rapat paripurna, Selasa (6/12/2022) menuai sorotan media luar negeri.

Pasal yang kontroversi di dalam RKUHP disorot Telegrap yang menurunkan judul 'Indonesia mengeluarkan undang-undang yang melarang seks di luar nikah'.

Telegraph menyebut DPR meloloskan revisi KUHP yang telah lama ditunggu-tunggu dan kontroversial melarang seks di luar nikah bagi warga negara dan juga orang asing yang berkunjung.

Baca juga: Ramai soal Penolakan RKUHP, Menkumham: Silakan Gugat ke MK!

Setelah disahkan, KUHP baru harus ditandatangani oleh presiden, menurut Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Hiariej. Hukum pidana tidak akan langsung berlaku.

Dia mengatakan, undang-undang yang baru “memiliki banyak peraturan pelaksanaan yang harus diselesaikan, jadi tidak mungkin dalam satu tahun,” tetapi membutuhkan waktu maksimal tiga tahun untuk bisa diterapkan.

Aturan yang menyoal seks di luar nikah terancam dalam pasal 411-413 yang isinya: setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana penjara paling lama enam bulan atau denda Rp10 juta.

Tak cuma itusaja, perbuatan yang disebut 'perzinaan' atau persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istri juga akan dipidana paling lama setahun dan dena Rp10 juta.

Pasal ini dinilai tidak memiliki dasar yang jelas karena hubungan seks dua orang dewasa tidak ada pihak yang dirugikan kecuali jika ada kekerasan. Pasal ini juga dianggap melanggar wilayah privasi warga.

Menkumham Yasonna H Laoly dan Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej (kanan) di DPR RI. (ANTARA FOTO/Galih Pradipta)

 

Mekumham: KUHP reformasi perluasan jenis pidana

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly mengatakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP yang baru saja disahkan menjadi undang-undang merupakan upaya reformasi perluasan jenis pidana bagi pelaku kejahatan.

"Ini menjadi titik awal reformasi penyelenggaraan pidana di Indonesia melalui perluasan jenis-jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku kejahatan," kata Menkumham Yasonna Hamonangan Laoly dalam keterangannya di Jakarta, Selasa seperti yang dilansir Antara.

Menkumham menyebutkan terdapat tiga pidana yang diatur dalam KUHP yang baru saja disahkan DPR RI melalui rapat paripurna, yaitu pidana pokok, pidana tambahan dan pidana yang bersifat khusus.

Baca juga: DPR RI Dukung Usulan Menkumham yang Ingin Pemberian Izin Praktik Dokter Ditentukan Negara

Dalam pidana pokok, Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP tidak hanya mengatur pidana penjara dan denda, tetapi menambahkan pidana penutupan, pidana pengawasan serta pidana kerja sosial.

"Perbedaan mendasar adalah RUU KUHP tidak lagi menempatkan pidana mati sebagai pidana pokok, melainkan pidana khusus yang selalu diancamkan secara alternatif dan dijatuhkan dengan masa percobaan sepuluh tahun," jelas Yasonna.

Selain pidana mati, pidana penjara juga direformasi dengan mengatur pedoman yang berisikan keadaan tertentu agar sedapat mungkin tidak dijatuhkan pidana penjara terhadap pelaku tindak pidana.

Keadaan-keadaan tersebut antara lain jika terdakwa adalah anak, terdakwa berusia di atas 75 tahun, baru pertama kali melakukan tindak pidana, dan beberapa kondisi lainnya.

Kemudian diatur pula ketentuan mengenai pengecualian keadaan tertentu, yaitu terhadap pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, tindak pidana yang diancam dengan pidana minimum khusus, atau tindak pidana yang merugikan masyarakat maupun merugikan perekonomian negara.

Selanjutnya, pelaku tindak pidana dapat dikenai pidana tambahan berupa pencabutan hak tertentu, perampasan barang, pengumuman putusan hakim, pembayaran ganti rugi, pencabutan izin, dan pemenuhan kewajiban adat setempat.

Yasonna menambahkan pelaku tindak pidana dapat juga dijatuhi tindakan, yaitu perwujudan nyata dari diterapkannya double track system dalam pemidanaan Indonesia.

Sebagai contoh, RUU KUHP mengatur tindakan yang dapat dijatuhkan bersama pidana pokok dan tindakan yang bisa dikenakan kepada orang dengan disabilitas mental atau intelektual.

Terakhir, perumus RUU KUHP mengatur badan hukum atau korporasi sebagai pihak yang dapat bertanggung jawab dan dipidana. Penjatuhan pidana pokok, pidana tambahan, dan tindakan dikenakan kepada korporasi serta orang-orang yang terlibat di dalamnya.

Artikel Menarik Lainnya:

 

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber:

TERPOPULER
TAG POPULER
BERITA TERBARU
Tentang Kami Redaksi Info Iklan Kontak Pedoman Media Siber Kode Etik Jurnalistik Pedoman AI dari Dewan Pers Karir