Jumat, 08 NOVEMBER 2024 • 13:30 WIB

Ban Zhao, Cendekiawan Perempuan yang Menantang dan Membentuk Norma di Tiongkok Kuno

Author

Mengenal sosok Ban Zhao, cendekiawan perempuan Tiongkok kuno

INDOZONE.ID - Wanita dalam diri masyarakat Tiongkok kuno seringkali dianggap kurang dari laki-laki. Mereka kadang mendapat kesempatan lebih sedikit dalam bidang-bidang struktur pejabat ataupun akademisi zaman lampau.

Namun, walaupun laki-laki mendominasi banyak sektor, tetap saja masih terdapat sosok perempuan yang mampu bersaing. Salah satu sosok itu adalah Ban Zhao.

Ban Zhao (45-116 M) adalah salah satu cendekiawan wanita yang terkenal dalam tulisan sejarah Tiongkok. Ia lahir di keluarga terpandang dari era Dinasti Han Timur.

Ayahnya, Ban Biao, juga merupakan sejarawan terkenal, dan kakaknya, Ban Gu, juga seorang sejarawan dan cendekiawan.

Dengan keluarga yang memiliki minat pada pengetahuan terutama sejarah tak elak turut mempengaruhi Ban Zhao.

Ia menerima pendidikan yang berbeda dari perempuan sebayanya dan zamannya, yaitu kesempatan untuk masuk ke dunia intelektual akademik yang pada masa itu hanya terbuka bagi laki-laki.

Ketika Ban Gu, kakaknya menghembuskan nafas terakhir sebelum menyelesaikan tugas membuat buku sejarah resmi Dinasti Han, Ban Zhao ditunjuk untuk menyelesaikan pekerjaan itu.

Melalui penugasan ini memperlihatkan bahwa kompetensinya bukan sembarangan karena kepercayaan besar yang diberikan kepada Ban Zhao merupakan otoritas kerajaan.

Baca Juga: Jadi National Director Baru Miss Universe Indonesia, Teuku Zacky: Perempuan Ujung Tombak Minat Generasi akan Budaya

Karyanya ini dikenal sebagai Han Shu atau lebih akrab sebagai Sejarah Dinasti Han. Di sinilah Ban Zhao menunjukkan kemampuan dia dalam menyusun kisah sejarah dan analisis kritis yang menjadi dasar penting hingga berabad-abad kemudian.

Selain karya yang bertema kesejarahan, Ban Zhao juga dikenal melalui karya Nujie atau Admonitions for Women (Nasehat bagi Wanita), yang ditulis dengan tujuan mendidik para wanita.

Didikan utamanya berfokus kepada perihal perilaku moral yang sesuai dengan norma-norma Konfusianisme. Nujie juga berisi arahan bagi wanita agar mampu bersikap rendah hati, patuh, dan menjaga martabat keluarga, serta menjadi ibu dan istri yang baik.

Karya ini dipandang dengan berbeda-beda, ada yang menyatakan bahwa nujie sebagai dukungan terhadap pembatasan peran perempuan. Tapi di sisi lain, Ban Zhao dianggap berusaha memberikan pesan praktis bagi perempuan agar mampu bertahan di dalam struktur sosial patriarki yang keras kala itu.

Seiring berjalanya waktu, pandangan terhadap tulisan Ban Zhao terbelah. Beberapa cendekiawan memujinya sebagai pendidik dan pelopor bagi pendidikan perempuan, mereka menganggap bahwa Nujie sebagai bentuk pengajaran moral yang penting.

Di era modern, sejarawan seperti Nancy Lee Swann dan Tienchi Martin-Liao mengapresiasi Ban Zhao sebagai sosok yang mampu memberikan inspirasi bagi pendidikan wanita Tiongkok.

Namun seperti kehidupan yang tidak hanya memiliki satu sisi, Ban Zhao juga menerima kritik dari cendekiawan lainnya seperti Chen Dongyuan dan Van Gulik. Mereka menganggapnya sebagai figur yang yang tidak mendukung perjuangan wanita.

Mereka melihat Nujie sebagai panduan yang merantai perempuan dan bahkan meracuni pandangan masyarakat tentang peran perempuan dalam rumah tangga, mempromosikan kepatuhan yang dianggap begitu patriarki.

Pada dekade terakhir ini, karya-karya Ban Zhao kembali mendapat perhatian, baik dari perspektif gender maupun upaya pemaknaan ulang tulisan-tulisanya.

Yu-shih Chen, misalnya, menyatakan bahwa Nujie tidak sepenuhnya berlandaskan pemikiran Konfusian, melainkan menunjukkan pengaruh Daoisme.

Baca Juga: Mengenal Wu Zetian, Kaisar Wanita Pertama Tiongkok yang Menantang Patriarki

Menurut Chen, Ban Zhao menggunakan bahasa yang mengisyaratkan "strategi bertahan hidup" bagi perempuan dalam menjalani hidup yang penuh tantangan kekuatan sosial yang dominan, seperti menghadapi ibu mertua dalam rumah tangga.

Pandangan ini pula dikritik para ahli lain yang berargumen bahwa tafsiran Chen mungkin terlalu berlebihan, mengingat audiens Ban Zhao, yaitu para perempuan kemungkinan besar tidak memiliki latar pendidikan yang cukup untuk memahami pesan yang filosofis tersebut.

Namun, para akademisi masa kini tetap melihat Ban Zhao sebagai simbol bagi berbagai sudut pandang mengenai perempuan di Tiongkok kuno.

Pada akhirnya di abad ke-21, Ban Zhao masih mampu menjadi salah satu tokoh yang menarik perhatian, terutama di kalangan feminis dan peneliti studi gender. Ntah di Tiongkok maupun di Barat tokoh Ban Zhao merupakan figur unik bagi merekap.

Ia bukan hanya tokoh sejarah, tetapi juga simbol dari kompleksitas peran perempuan dalam masyarakat patriarki pada era tersebut. Karyanya, terutama Nujie, terus diperdebatkan dalam konteks bagaimana ia seharusnya dimengerti.

Apakah karya Ban Zhao sebagai cerminan zamannya atau justru sebagai upaya tersembunyi untuk memperkuat posisi perempuan dalam sistem sosial begitu membatasi.

 


Banner Z Creators Undip.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber: Jstor.org