Pahlawan revolusi korban G30S/PKI (pinterest)
Pahlawan revolusi adalah para perwira militer Indonesia yang gugur dalam tragedi pembantaian oleh Gerakan 30 September yang diprakarsai oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sebanyak 7 pahlawan revolusi menjadi korban G30S/PKI diculik dan dibunuh dalam waktu satu malam, yakni dari tanggal 30 September sampai 1 Oktober 1965.
Jasad para pahlawan revolusi Indonesia ini kemudian dibuang ke dalam sebuah sumur yang terletak di Kelurahan Lubang Buaya, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur.
Dirangkum berbagai sumber, berikut ini Indozone bagikan biodata dan nama 7 pahlawan revolusi Indonesia yang menjadi korban G30S/PKI.
Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani adalah komandan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat kelahiran Jenar, Purworejo, Jawa Tengah pada tanggal 19 Juni 1922.
Pada tahun 1943, ia bergabung dengan tentara Jepang yang disebut Pembela Tanah Air (PETA).
Setelah kemerdekaan, ia menjadi tentara republik untuk berjuang melawan Belanda.
Tahun 1958, Yani memerintahkan Operasi 17 Agustus terhadap Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia di Sumatra Barat.
Ia dan pasukannya berhasil merebut kembali Padang dan Bukittinggi, sehingga ia dipromosikan menjadi wakil kepala Angkatan Darat ke-2 kemudian Kepala Angkatan Darat menggantikan Jenderal A. H. Nasution.
Tanggal 1 Oktober 1965, Gerakan 30 September mengepung rumah Yani dan mengatakan bahwa ia akan dibawa ke hadapan presiden.
Yani saat itu meminta waktu untuk mandi dan berganti pakaian namun mereka menolak, sehingga Yani marah dan menampar salah satu di antara mereka.
Seketika situasi berubah menegangkan, seorang penculik akhirnya melepaskan peluru dari senjata, membunuh Yani secara spontan.
Jasad Yani lalu dibawa ke Kelurahan Lubang Buaya, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur dan disembunyikan di sebuah sumur bekas.
Letnan Jenderal TNI Anumerta R. Suprapto lahir di Purwokerto, 20 Juni 1920 dinobatkan sebagai pahlawan revolusi karena turut menjadi korban dalam G30S/PKI.
Suprapto pernah mengikuti kursus Pusat Latihan Pemuda, latihan keibodan, seinendan, dan syuisyintai, kemudian bekerja di Kantor Pendidikan Masyarakat.
Pada masa awal kemerdekaan, Suprapto menjadi anggota Tentara Keamanan Rakyat di Purwokerto.
Selain berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Cilacap, ia pun turut dalam pertempuran di Ambarawa melawan tentara Inggris.
Suprapto juga pernah menjadi ajudan Panglima Besar Sudirman hingga Staf Angkatan Darat kemudian diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat untuk wilayah Sumatra.
Suprapto didatangi rombongan Gerakan 30 September pada 1 Oktober 1965 pukul 04.30 pagi, diminta untuk menemui Soekarno.
Tanpa perlawanan, Suprapto langsung mengiyakan. Namun, ia malah dibawa ke Lubang Buaya dan dianiaya hingga tewas dalam keadaan terikat.
Letnan Jenderal TNI Anumerta Mas Tirtodarmo Haryono lahir di Surabaya, 20 Januari 1924 sebagai putra seorang B.B. (Pamong Praja).
Karena keluarganya terpandang, ia dapat mengenyam pendidikan di sekolah dasar di Hollandsch-Inlandsche School (HIS 6) dan Europeesche Lagere School (ELS).
Setamat dari HBS, ia sempat masuk Ika Daigakko (Sekolah Kedokteran masa pendudukan Jepang) di Jakarta namun tidak menamatkan karena memilih ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Haryono kemudian bergabung dalam Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan memperoleh pangkat Mayor.
Ia kemudian ditugaskan sebagai Sekretaris Delegasi RI, Sekretaris Dewan Pertahanan Negara, Wakil Tetap Kementerian Pertahanan, dan Sekretaris Delegasi Militer Indonesia.
Dini hari pada tanggal 1 Oktober 1965, Gerakan 30 September mendatangi rumah Haryono dan mengatakan pada istrinya bahwa Haryono dipanggil oleh Presiden Sukarno.
Istri Haryono meminta agar mereka kembali lagi pukul 08.00, namun pasukan tetap menyelinap ke kamar tidur Haryono.
Haryono berusaha merebut senjata, tetapi gagal. Hingga akhirnya sebuah ledakan senjata menewaskannya.
Jenazah Haryono dibawa ke dalam truk kemudian dimasukkan ke dalam sumur Lubang Buaya.
Letnan Jenderal TNI Anumerta Siswondo Parman turut menjadi korban G30S/PKI dan diberi gelar sebagai pahlawan revolusi.
Parman yang lahir di Wonosobo, Jawa Tengah, 4 Agustus 1918 ini merupakan lulusan sekolah tinggi di kota Yogyakarta (AMS-B) dan sempat menimba ilmu kedokteran.
Namun, karena Jepang menyerang, ia berhenti kuliah dan bekerja untuk polisi militer Kempeitai Jepang.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Parman bergabung dalam Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Karier militer Parman bermula dari kepala staf polisi militer, kepala staf gubernur militer, mayor, komandan polisi militer, hingga Mayor Jenderal.
Tanggal 1 Oktober 1965 pukul 04.10 pagi, sebanyak 24 pria berpakaian pengawal presiden, mendatangi rumah Parman dengan mengatakan bahwa ia diperintahkan untuk menghadap presiden.
Parman sempat meminta istrinya untuk menghubungi komandannya, Ahmad Yani, namun kabel telepon di rumah Parman telah diputus.
Parman ditangkap hidup-hidup dan dibawa ke Lubang Buaya, kemudian ditembak mati dan tubuhnya dimasukkan ke dalam sumur.
Mayor Jenderal TNI Anumerta Donald Isaac Panjaitan lahir di Balige, Tapanuli, 19 Juni 1925.
Ia mendapatkan pelatihan militer dan ditugaskan sebagai anggota Gyugun di Pekanbaru, Riau.
Panjaitan bersama pemuda lainnya kemudian membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Berawal dari posisi komandan batalyon, lalu ia diangkat untuk menduduki berbagai jabatan hingga menjadi Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad).
Ketika menjabat Asisten IV Men/Pangad, ia membongkar rahasia pengiriman senjata dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang akan digunakan PKI.
Pada tanggal 1 Oktober 1965 tengah malam, sekelompok anggota Gerakan 30 September memaksa masuk ke rumah Panjaitan.
Panjaitan yang kala itu sedang berdoa, ditembak persis di bagian kepala hingga tewas di tempat.
Jasadnya kemudian dibawa menggunakan truk menuju Lubang Buaya, namun baru ditemukan pada tanggal 4 Oktober.
Mayor Jenderal TNI Anumerta Sutoyo Siswomiharjo lahir di Kebumen, Jawa Tengah, 28 Agustus 1922.
Setelah menyelesaikan sekolah dan belajar tentang penyelenggaraan pemerintahan, Sutoyo sempat bekerja sebagai pegawai pemerintah di Purworejo.
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, Sutoyo bergabung dalam Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Ia kemudian menjadi Polisi Militer Indonesia, lalu diangkat menjadi ajudan kolonel, kemudian kepala staf, asisten atase militer, Inspektur Kehakiman Angkatan Darat, hingga akhirnya menjadi inspektur kehakiman/jaksa militer utama.
Dini hari tanggal 1 Oktober 1965, anggota Gerakan 30 September masuk melalui garasi ke dalam rumah Sutoyo.
Mereka mengatakan bahwa Sutoyo telah dipanggil oleh Presiden Soekarno.
Kenyataannya, Sutoyo dibawa ke Lubang Buaya, lalu dibunuh dan dimasukkan ke dalam sumur.
Kapten Czi Pierre Andries Tendean juga menjadi korban G30S/PKI dan ditetapkan sebagai pahlawan revolusi Indonesia.
Tendean merupakan anak dari pasangan Dr. A.L Tendean, seorang dokter yang berdarah Minahasa dan Maria Elizabeth Cornet, seorang wanita Belanda yang berdarah Prancis.
Pria kelahiran Batavia, 21 Februari 1939 ini berhasil bergabung dalam Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD).
Setelah lulus, Tandean lalu menjadi intelijen, kemudian ditunjuk sebagai ajudan Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution.
Pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965, pasukan Gerakan 30 September mengunjungi rumah dinas Abdul Haris Nasution.
Saat itu, Tendean yang sedang tertidur di paviliun di samping rumah dinas, dibangunkan oleh putri sulung sang Jenderal karena mendengar suara keributan.
Tendean pun segera berlari ke depan rumah dinas dan langsung ditangkap oleh gerombolan G30S/PKI.
Karena kondisi rumah yang gelap, mereka mengira Tendean adalah Abdul Haris Nasution.
Ia pun dibawa ke sebuah rumah di daerah Lubang Buaya dan ditembak mati lalu dibuang ke dalam sumur.
Itulah perjalanan hidup para pahlawan revolusi yang menjadi korban G30S/PKI. Semoga mereka diberikan tempat yang mulia di sisi-Nya.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: