Kategori Berita
Media Network
Kamis, 06 JANUARI 2022 • 14:38 WIB

Layangan Putus & Perihal Pelakor: Benarkah Perempuan Aktif Merebut & Laki-Laki Cuma Pasif?

Tokoh Lydia (Anya Geraldine) bertatapan dengan Aris (Reza Rahadian) dalam serial 'Layangan Putus'. (Foto: Instagram @layanganputus.md)

Di dalam masyarakat Indonesia beberapa tahun terakhir, ada satu istilah yang begitu ngetren terkait keretakan rumah tangga seseorang: pelakor.

Ya, akronim dari 'perebut laki orang' itu sekarang semakin familiar dan kerap diucapkan oleh orang-orang, baik di kota maupun di desa, untuk menyebut perempuan yang membuat rumah tangga seseorang retak atau bubar.

Belakangan, istilah pelakor kian populer gara-gara serial 'Layangan Putus' yang dibintangi oleh Reza Rahadian, Putri Marino, dan Anya Geraldine.

Dalam serial itu, Anya berperan sebagai Lydia, perempuan manja yang menjadi selingkuhan Aris (Reza Rahadian), suami dari Kinan (Putri Marino). Tak pelak, tokoh Lydia pun segera dicap 'pelakor' oleh penonton.

Tokoh Lydia (Anya Geraldine) menyandarkan kepala ke bahu Aris (Reza Rahadian) dalam serial 'Layangan Putus'. (Foto: Instagram @layanganputus.md)

Namun, benarkah pelakor merebut suami orang secara aktif?

Pertanyaan itu mengemuka tatkala kita menyadari budaya patriarki di Indonesia, di mana perempuan kerap diposisikan sebagai pihak yang bersalah dalam banyak situasi.

Dalam penggunaan istilah pelakor, ada kesan bahwa perempuan adalah pelaku aktif yang merebut suami orang. Sementara si laki-laki dianggap sebagai pihak yang pasif dan tak berdaya sehingga dapat direbut kalau tak dijaga baik-baik.

"Padahal, hubungan antara 'pelakor' dan pasangannya merupakan sebuah hubungan perselingkuhan sebab kedua pihak sama-sama aktif, sama-sama memiliki peran yang sama," tulis Suzy Azeharie, Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara dalam artikelnya di Kompas.

Selain terasa intimidatif, istilah pelakor juga menunjukkan betapa akutnya misogini (kebencian terhadap perempuan) di masyarakat. Kebencian itu kemudian meletup-letup tatkala perempuan bertingkah "macam-macam". 

Padahal, kita bisa melihat secara objektif, dalam hampir semua kasus perselingkuhan yang dilakukan oleh laki-laki beristri, bukan si perempuan selingkuhan yang aktif merebut si laki-laki, melainkan si laki-laki itulah yang justru memburu.

"Perlakuan berbeda antara laki-laki dan perempuan ini tidak hanya terjadi pada isu perselingkuhan semata. Akan tetapi juga pada pemberian hukuman di pengadilan," kata Suzy.

Miris, kaum perempuan sendiri ikut menyuburkan dan melestarikan budaya patriarki itu. Salah satu buktinya, ketika suami selingkuh, atau ketika suami teman selingkuh, atau ketika memandang kasus perselingkuhan, banyak perempuan justru menyerang si perempuan selingkuhan itu alih-alih si laki-laki.

"Pada perempuan dilekatkan dualisme baik dan buruk. Misalnya, label konotatif 'piala bergilir' hanya berlaku pada perempuan, tetapi tidak pada laki-laki. Pria boleh bebas berganti ganti pasangan, tetapi jangan coba pada perempuan," kata Suzy.

Tokoh Kinan (Putri Marino) berbicara dengan suaminya, Aris, dalam serial Layangan Putus. (Foto: Instagram @layanganputus.md)

Stigmatisasi pada perempuan sebagai "pelakor", kata Suzy, dapat dimasukkan dalam kategori kekerasan simbolik. 

"Asumsi dasar dari konsep ini menurut Pierre Bourdieu (2002) adalah di setiap masyarakat akan ada kelompok yang dominan dan kelompok yang didominasi," tulisnya.

Mirisnya, banyak kelompok masyarakat yang tidak menyadari bahwa pelabelan 'pelakor' terhadap perempuan selingkuhan merupakan sebuah bentuk kekerasan simbolik.

"Artinya, dengan memandang kekerasan simbolik yang dilakukan masyarakat sebagai sesuatu yang sah, yang adil, masyarakat belajar untuk percaya bahwa dalam perselingkuhan antara laki-laki dan perempuan, pihak perempuanlah yang agresif, penggoda, pencuri, perebut suami orang dan sah dinistakan sebagai 'pelakor'," lanjut Suzy.

Nelly Martin-Anatias, dalam artikelnya di The Conversation, menyebut bahwa istilah pelakor merupakan bentuk retorika yang timpang, karena menempatkan perempuan sebagai “perebut”, seorang pelaku yang aktif dalam kegiatan perselingkuhan, dan menempatkan sang laki-laki seolah-olah sebagai pelaku yang tidak berdaya (barang yang dicuri, tak berkuasa). 

Secara sosiolinguistik, tulis Nelly, istilah pelakor sangat berpihak pada laki-laki, karena seringkali muncul dalam wacana keseharian tanpa istilah pendamping untuk laki-laki dalam hubungan tersebut. 

"Secara kebahasaan istilah ini meminggirkan perempuan. Lebih dari itu istilah ini menunjukkan fenomena sosial-budaya yang lebih besar. Kerapnya istilah ini digunakan dalam cerita di media sosial dan dalam pemberitaan tanpa didampingi istilah yang sepadan untuk pelaku laki-laki, menunjukkan bahwa istilah ini seksis," lanjut Nelly.

Artikel Menarik Lainnya:


 

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber:

BERITA TERBARU

Layangan Putus & Perihal Pelakor: Benarkah Perempuan Aktif Merebut & Laki-Laki Cuma Pasif?

Link berhasil disalin!