Mudik Gerbang Tol Cikampek Utama. (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)
Ditilik dari sumber literasi sejarah para peneliti mengungkapkan kalau budaya mudik bukan berdasarkan tradisi Islam, bahkan pada masa Hindia Belanda pun tradisi mudik tak ditemukan dalam sejarah Islam di Indonesia.
"Mudik ini bukan tradisi Islam, juga tidak ada dalam sejarah Islam di Indonesia sebelumnya. Dulu para perantau di Medan yang luar biasa banyaknya, pun tidak merasa perlu mudik saat Idul Fitri," kata Dr Phil Ichwan Azhari Sejarawan Sumatera Utara melalui postingan Facebooknya seperti yang dikutip Indozone, Senin (2/5/2022).
Peneliti Rumah Sejarah Medan itu mengungkapkan mudik itu sebenarnya hanya fenomena baru, kegelisahan manusia moderen karena kota tidak membuat dirinya home dan merasa perlu lari ke kampung menyelamatkan diri yang sepi di kota.
Atau kompensasi keterputusan kota dan kampung di luar Idul Fitri yang tidak pernah dikunjungi si malin kundang perantau ini? Lalu semua ditumpuk dan ditebus dikunjungi saat Idul Fitri?
Kegiatan mudik selalu menjadi topik utama pada 1 minggu sebelum dan sesudah Idul Fitri dalam berbagai media.
"Mudik diangap identik dengan Idul Fitri. Sementara perayaan idul fitri merupakan tradisi perayaan Hari Raya yang berkembang di Indonesia sejak akhir abad 19 dan awal abad 20. Jadi khas Indonesia, sebab di negara lain seperti Timur Tengah, kegiatan seperti itu tidak ditemukan." kata Ichwan melalui sumber Risalah Sumatera.
Lalu yang menjadi pertanyaan sejak kapankah mudik menjadi tradisi masyarakat Indonesia dalam merayakan Idul Fitri?
"Saya mencoba membaca beberapa arsip surat kabar lama di Rumah Sejarah Medan yang bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri seperti surat kabar Pewarta Deli Juli 1917 dan surat kabar Soeara Atjeh Maret 1930," sebutnya.
Dia menyebutkan pada surat kabar Pewarta Deli edisi Juli 1917, berita dan tulisan yang mengisi satu minggu sebelum dan sesudah lebaran adalah berupa berita tentang kondisi daerah (seperti Tapanoeli, Medan, Tebing Tinggi, Labuhan Bilik, Bindjai), berita kriminal (seperti pencurian), berita ekonomi di Sumatera Timur, berita internasional (seperti Jepang, Eropa, Belanda, Cina), berbagai iklan produk, cerpen, serta beberapa ucapan dan Puisi Hari Raya.
Setidaknya dari analisis surat kabar Pewarta Deli tahun 1917 itu, suasana Hari Raya di media massa hanya diisi dengan ucapan sederhana selamat Hari Raya, puisi Hari Raya oleh redaksi, dan beberapa iklan produk yang berkaitan dengan Hari raya.
Surat kabar Pewarta Deli yang dicetak di Deli ini sama sekali tidak ada memuat berita dan tulisan mengenai mudik meskipun Deli pada masa itu merupakan kota yang banyak dihuni oleh migran dan perantauan.
Pada surat kabar Soeara Atjeh edisi Maret 1930 ada berita dan tulisan yang mengisi suasana menjelang dan sesudah Idul Fitri.
Bebrapa tulisan bernuansa Islam nampak terbaca seperti kelompok “Intelectueel Islam Haroes Insjaf”, tulisan “Pers Kolonial Dan Journalistennja”, tulisan “Oemat Islam Moesti Sedar!”, tulisan “Agama Islam Dalam Pimpinan Allah”, profil beberapa tokoh (seperti M. Ghandi dari India, Coolidge dan Hoover dari Amerika, Ibn Saoed dari Arab), berita tentang Ormas Islam (seperti Muhammadiah), berita pendidikan, iklan seputaran puasa dan Hari Raya, serta ucapan dan puisi Hari Raya oleh redaksi surat kabar.
"Dari surat kabar Soeara Atjeh ini juga tidak ditemukan satu pun berita berkaitan dengan mudik, meskipun surat kabar ini sangat kental dengan nuansa Islam," beber Ichwan.
Dari analisis kedua surat kabar itu jelas tampak bahwa tidak ada satupun berita atau tulisan yang mengabarkan tentang kondisi mudik setidaknya untuk wilayah Aceh dan Sumatera Timur.
"Dengan demikian konsep mudik tidak ada kaitannya dengan Idul Fitri. Mudik juga belum tentu berkaitan dengan banyaknya kaum migran atau perantau," katanya.
Deli dan Sumatera Timur merupakan tempat bersesak kaum migran (dari Jawa) dan perantau (dari Minang dan Mandailing) sejak akhir abad 19.
Tapi tidak ada kegelisahan “mudik”, “pulang kampung”, atau semacamnya yang ahistoris. Kenderaan waktu itu sudah ada, bus, kereta api, kapal laut, sepeda, sado.
Dalam beberapa pemberitaan orang biasa untuk berbagai urusan naik sepeda dari Tanjung Pura atau Tebing Tinggi ke Medan. Tapi tidak ada rombongan mudik.
Koran Pewarta Deli edisi 18 Juli 1917, Koleksi Arsip Museum Sejarah Pers Medan.
Menurut Ichwan mudik merupakan fenomena sosial modern yang mungkin berkaitan dengan ketidak nyaman dunia rantau, kota, atau industrilisasi yang membuat hampa hidup manusia modern, sehingga merasa perlu “pulang”.
"Mudik juga penanda pembangunan yang terkonsentrasi di kota kota besar, yang banyak ditelaah para sosiolog dan antropolog. Implikasi nya, arus migrasi menumpuk di kota, lalu rindu kampung atau kota kota kecil tempat asal. Dehumanisasi kehidupan kota yang dibahas dalam teori kebudayaan?" katanya.
Momen yang pas dipilih adalah “lebaran” itu, jadi jangan-jangan substansinya bukan untuk merayakan Idul Fitri tetapi tempat “pulang”nya sosok yang kesepian dan gelisah di perantauan.
Dulu (tahun 1917 dan 1930) banyak kaum migran muslim di Deli, tapi tak ditemukan para pemudik yang gelisah untuk “pulang” itu.
"Anda mudik? Kenapa? Ada dua kemungkinan, anda sepi dan gelisah di rantau atau anda rindu, terhutang jarang mengunjungi kampung. Atau keduanya. Atau ada sebab lain? Yang jelas bukan karena idulfitri , tradisi itu tidak ditemukan dalam arsip sejarah panjang Islam," ungkap Ichwan.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: