Ilustrasi perempuan galau. (Freepik)
Jurnalis sekaligus aktris Marissa Anita belakangan mendalami Stoikisme. Ajaran filsafat dari mazhab Stoa ini belakangan tengah populer dan banyak diterapkan oleh kalangan kaum urban karena bisa mengatasi masalah dalam kehidupan jika mampu menerapkannya.
Dalam pandangan para stoik (orang yang menganut filsafat stoikisme), sebagaimana dikutip dari Gramedia, jalan paling praktis untuk memperoleh kebahagiaan didasarkan pada beberapa prinsip berikut:
- Kemampuan dalam melihat diri sendiri, dunia, serta manusia lain secara objektif dan menerima sifat mereka dengan apa adanya.
- Disiplin untuk mencegah diri sendiri dikendalikan oleh keinginan untuk bahagia atau takut terhadap rasa sakit dan juga penderitaan.
- Membuat sebuah perbedaan antara apa yang ada di dalam kekuatan kita dan apa apa yang tidak ada.
Selain itu, stoikisme juga mengajarkan bahwa pikiran, persepsi, keyakinan, dan tindakan kita sendiri, ada dalam kendali diri kita.
Dalam tulisan dan video yang ia bagikan di situs Greatmind dan kanal YouTube-nya, Marissa mengakui bahwa Stoikisme membantunya menjadi lebih tenang dalam keseharian.
Salah satu tujuan penting dalam stoikisme, tulis Marissa, adalah penguasaan diri (self mastery). Seseorang yang bisa menguasai diri dengan baik cenderung tenang, tahan mental, dan punya emosi yang seimbang.
"Apa prinsip stoikisme? Penjelasan sederhana dari para stoik begini: kita hanya bisa mengendalikan apa yang ada dalam kendali kita - yakni pikiran dan tindakan kita sendiri. Apa pun di luar dua hal ini adalah hal eksternal di luar kendali kita. Karena itu, yang kita bisa kendalikan hanya penilaian kita terhadap hal-hal eksternal ini. Hal eksternal yang dimaksud adalah semua peristiwa, situasi, dan tindakan atau perilaku orang lain terhadap kita," kata mantan presenter Metro TV tersebut.
Bagaimana kita bisa melatih diri untuk menerapkan stoikisme ini? Marissa Anita membagikan 7 cara yang bisa kamu lakukan, cocok untuk kamu yang sedang patah hati, entah karena putus cinta atau masalah lain.
Latih apa yang paling kita takutkan, simulasikan. Kita takut dengan penderitaan — apa pun bentuknya. Untuk melatih ketangguhan menghadapi penderitaan, para stoik menyarankan kita melatih penderitaan dengan cara membayangkan atau bahkan mempraktikkan skenario-skenario terburuk yang bisa terjadi dalam hidup. Ini untuk melatih Anda, jika kemalangan benar-benar menimpa, Anda akan baik-baik saja.
Seperi yang dilakukan salah satu filsuf stoik, Seneca. Dua kali dalam setahuan, ia menanggalkan baju bagus, memakai baju kumal dan kotor, tidur di lantai, makan roti yang sudah keras, dan minum air dari mangkuk hewan peliharaan. Intinya, dia menempatkan dirinya dalam kondisi tidak nyaman.
Anda bisa melatih diri menghadapi kemalangan dengan cara hidup sangat sederhana atau membayangkan secara detil keadaan paling parah yang bisa terjadi, dan apa yang akan Anda lakukan bila harus menghadapi keadaan itu.
Berlatih kemalangan mempersiapkan kemampuan kita untuk tenang jika kemalangan sungguhan datang dalam hidup kita.
Seneca bilang, "kemalangan yang tidak terduga seringkali yang paling menyakitkan, maka itu orang yang bijak sudah memikirkan kemalangan lebih dulu".
Ketika melihat situasi, bedakan apa yang bisa Anda ubah atau tidak, apa yang bisa Anda pengaruhi atau tidak.
Sekeras apapun berusaha, Anda tidak akan bisa memaksa orang lain menyukai Anda kalau ia sudah memutuskan tidak suka dengan Anda.
Pakai waktu dan tenaga Anda untuk mengubah apa yang bisa Anda ubah, tak usah buang waktu menggoyah hal yang tak bisa digoyah.
Marcus Aurelius berkata, "Memilih untuk tidak tersakiti maka kita tidak akan tersakiti. Jangan merasa tersakiti, maka Anda tak akan tersakiti".
Misalnya, ketika kamu diputusi oleh pacar kamu. Pacar kamu memilih bahagia dengan pria atau perempuan lain. Kamu memiliki kendali penuh atas diri kamu untuk bersedih atau tidak, untuk menangis di atas bantal di dalam kamar atau tetap melanjutkan hidup seperti saat belum mengenalnya.
Ketika mengamati sesuatu, mundur selangkah, zoom out, untuk melihat sesuatu dengan konteks yang lebih luas.
Seperti seorang astronot melihat bumi, ini mengingatkan kita betapa kecilnya kita. Seperti kata filsuf Stoik Pierre Hadot:
“Memandang dari atas mengubah penilaian kita pada sejumlah hal. Kemewahan, kekuasaan, perang, dan sejumlah kekhawatiran dalam hidup sehari-hari jadi terlihat konyol.”
Status, reputasi, prestasi, barang atau orang, semuanya tidak ada yang permanen dalam hidup kita. Yang penting bagi seorang stoik adalah sekarang, menjadi orang baik dan melakukan hal yang benar, selama kita masih hidup.
Ingatlah kematian. Dalam bukunya 'Meditations', Marcus Aurelius menulis “kita bisa meninggalkan hidup ini kapan saja. Jadikanlah ini penentu apa yang kita lakukan, katakan, dan pikirkan dalam hidup ini”.
Memikirkan kematian menjadi pemikiran yang depresif jika kita tidak tepat memahaminya. Para stoik menganggap memikirkan kematian melahirkan kerendahan hati dan membangunkan semangat untuk hidup.
Cintai takdirmu. Epictetus, seorang budak, lumpuh, dan filsuf stoik. Dalam hidupnya ia menghadapi kesulitan demi kesulitan. Ia mengatakan, “Jangan berharap sesuatu terjadi seperti yang kau inginkan; sebaliknya, berharaplah apa yang terjadi, terjadi sebagaimana mestinya: maka itu kau akan bahagia”.
Terima segala situasi seberapa pun menantang. Bahkan cintailah situasi ini dan ubah setiap rintangan dan kesulitan menjadi bahan bakar bagi Anda untuk menjadi manusia yang lebih baik.
Belajar Filsafat dengan Novel 'Dunia Sophie', Tersedia Audiobook Dibacakan Dian Sastro
Sosok Al Makin Rektor UIN Sunan Kalijaga: Santri Kampung Lulusan S3 Filsafat dari Jerman
Viral Ilmu Filsafat Dibilang Haram, Dianggap Pintu Kekafiran dan Ateis, Benarkah Demikian?
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: