COVID-19 varian Omicron (B.1.1.529) semakin menggila. Kurun waktu sepekan terakhir, kasusnya meningkat 89,9 persen.
Hingga hari Senin, 31 Januari 2022, jumlah kasus Omicron di Indonesia menembus angka 2.507 dengan 5 orang meninggal dunia, menurut data Kementerian Kesehatan.
Pada hari sebelumnya, Minggu (30/1/2022), jumlah kasus 2.156. Artinya, ada pertambahan sebanyak 351 kasus hari ini. Sedangkan jumlah yang sembuh sebanyak 765 orang.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Siti Nadia menjelaskan, dari jumlah tersebut, pasien Omicron yang dirawat di rumah sakit sebanyak 854 orang, dengan rincian 461 orang asimtomatik, 334 bergejala ringan, 54 orang bergejala sedang, dan 5 orang bergejala berat.
Kasus Omicron di Indonesia paling banyak di wilayah DKI dengan 2.892 kasus. Menurut data Dinas Kesehatan DKI Jakarta hingga hari Minggu (30/1/2022), 1.581 orang yang terjangkit Omicron itu di antaranya adalah pelaku perjalanan luar negeri, sedangkan 1.311 lainnya adalah transmisi lokal.
Melihat keadaan yang terjadi hari-hari ini, penting buat kamu untuk tetap menjaga kesehatan, termasuk kesehatan mental.
Psikolog Inez Kristanti, M.Psi memaparkan tentang status kesehatan mental di Indonesia selama pandemi COVID-19.
Sebuah studi dari Iskandarsyah, A. (2020, 29 April) dengan 3.686 responden dari 33 provinsi di Indonesia menunjukkan bahwa 72 persen partisipan dilaporkan mengalami kecemasan dan 23 persen partisipan dilaporkan merasa tidak bahagia.
Inez menjelaskan bahwa gejala kecemasan antara lain kekhawatiran bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi, khawatir yang berlebihan, mudah marah dan kesal, serta sulit merasa rileks.
"Sementara itu, gejala depresi yang dilaporkan antara lain masalah tidur, kurangnya kepercayaan diri, kelelahan, dan kehilangan minat," kata Inez.
Mengutip Antara, menurut penelitian dari Johns Hopkins University, Amerika Serikat, orang-orang yang sebelum pandemi sudah memiliki lingkaran sosial terbatas lebih rentan terhadap masalah psikis. Sebab, jumlah teman atau keluarga yang bisa diajak berkomunikasi saat pandemi menjadi lebih terbatas.
Kesepian dan isolasi sosial juga meningkatkan risiko depresi dan gangguan kecemasan pada anak-anak dan remaja.
Selagi sekolah masih menyelenggarakan pembelajaran jarak jauh, anak dan remaja harus lebih mendapat perhatian terkait dengan kondisi mental mereka. Remaja dan orang dewasa muda berusia 18-24 tahun diketahui banyak merasa kesepian pada masa pembatasan sosial. Padahal usia itu adalah masanya mereka mengembangkan jati diri lewat lingkungan pertemanan.
Ancaman kesehatan mental yang terjadi pada anak dan remaja di masa pandemi juga mendapat perhatian dari United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF) yang dalam laporan utama dirilis pada 5 Oktober 2021 memperingatkan bahwa anak-anak dan remaja berpotensi mengalami dampak jangka panjang dari COVID-19 terhadap kesehatan mental mereka.
Menurut laporan berjudul The State of the World’s Children 2021; On My Mind: promoting, protecting and caring for children’s mental health – laporan Unicef yang paling komprehensif tentang kesehatan mental anak-anak, remaja, dan pengasuh mereka di abad ke-21.
Berdasarkan data terbaru, diperkirakan terdapat lebih dari satu hingga tujuh remaja berusia 10-19 tahun di dunia yang hidup dengan diagnosis gangguan mental.
Setiap tahun, tindakan bunuh diri merenggut nyawa hampir 46.000 anak muda. Sayangnya, masih terdapat kesenjangan besar antara kebutuhan untuk mengatasi masalah kesehatan mental dengan pendanaan yang tersedia.
Laporan tersebut menemukan bahwa secara global, anggaran kesehatan yang dialokasikan untuk kesehatan mental hanya mencapai dua persen.
Sementara itu, laporan tersebut juga merilis hampir satu di antara tiga anak muda di Indonesia (29 persen) dilaporkan sering merasa tertekan atau memiliki sedikit minat dalam melakukan sesuatu.
“Waktu 18 bulan terakhir terasa sangat, amat berat bagi kita dan terutama bagi anak-anak. Peraturan karantina nasional dan pembatasan mobilitas karena pandemi menyebabkan anak-anak harus menghabiskan waktu-waktu yang berharga dalam kehidupan mereka terpisah dari keluarga, teman, sekolah, dan kesempatan bermain, padahal semua hal ini penting bagi masa kanak-kanak,” ujar Direktur Eksekutif UNICEF Henrietta Fore.
Psikolog Klinis Dewasa, Nago Tejena, M.Psi mengatakan bahwa kesehatan mental bisa dipelihara, antara lain dengan melakukan hobi, menjaga hubungan yang sehat dengan orang lain, dan berdamai dengan keadaan.
Menurut Nago, terlalu sering membuka media sosial bisa membuat kita menjadi mudah cemas karena informasi yang masuk berlebih dan di luar batas kemampuan kita untuk mengendalikannya.
"Saat membuka media sosial atau internet, mencari berita itu memang perlu. Namun, jangan lupa juga untuk mencari hal-hal lain yang lebih menyenangkan, menghibur atau menginspirasi agar suasana hati lebih tenang," saran Nago, dikutip dari siaran pers Tokopedia pada Oktober 2021 lalu.
Omicron Melonjak Jadi 2.156 Kasus, Sudah Divaksin 3 Kali Pun Bisa Kena Omicron?
Gawat! Sudah 5 Orang Meninggal karena Omicron di Indonesia, Jangan Kendor Jaga Kesehatan
Bantul Nekat Tetap Buka Wisata Demi Dapur Warga Tetap Ngepul Walau Omicron Melonjak
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: