Kanti Utami (35 tahun), ibu yang menganiaya tiga anaknya di Brebes, Jawa Tengah. (Istimewa)
Isu-isu kesehatan mental agaknya masih dipandang sebelah mata oleh masyarakatdi Indonesia pada umumnya.
Mirisnya, terhadap orang yang mengalami gangguan kesehatan mental, orang-orang justru menganggapnya sebagai aib atau bahan untuk diejek dan ditertawakan. Apalagi jika gangguan mentalnya berupa skizofrenia.
Yang tak kalah menyedihkan, penghakiman atau hujatan juga tak jarang diterima oleh orang-orang yang mentalnya terganggu.
Bahkan sering pula, orang-orang mengaitkan kondisi gangguan mental tersebut dengan kadar keimanan dan ilmu agama dari orang yang menderita.
Seperti reaksi sejumlah warganet terhadap kasus Kanti Utami (35), ibu tiga anak di Brebes, Jawa Tengah, yang menggorok ketiga anaknya hingga salah satu di antaranya meninggal dunia pada hari Minggu (20/3/2022).
Lantas, apakah benar bahwa gangguan mental berhubungan dengan keimanan atau agama seseorang?
Dalam beberapa kasus, sebagaimana dilansir Halodoc, spiritualitas memang dapat memberikan kontribusi terhadap kesehatan mental.
Beberapa orang yang pernah melewati masa-masa sulit sehubungan dengan kesehatan mental, mengakui bahwa aktivitas spiritual dapat bermanfaat dalam memulihkan mental mereka.
Namun, itu tidak berarti bahwa gangguan mental semata-mata berkaitan atau dapat disembuhkan dengan keimanan.
Banyak faktor lainnya yang dapat membuat seseorang sulit untuk menghadapi tekanan yang berat sehingga mengalami depresi. Bahkan dalam tingkatan dan keadaan tertentu, keimanan justru tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan kemampuan seseorang menghadapi tekanan.
Alih-alih menghakimi seseorang dengan gangguan mental dengan mengatakan "dasar kurang iman", lebih baik kamu belajar untuk meningkatkan kemampuan dalam berempati.
Menurut Psikolog Tika Bisono, Rasa empati serta keinginan untuk membantu orang lain saat dilanda depresi adalah ciri dari mental yang sehat, termasuk kemampuan untuk berpikir rasional pada batas kemampuan diri sendiri.
"Orang yang katanya sehat mental itu dikatakan sehat ketika dia sensitif terhadap lingkungannya yang sedang mengalami gangguan," kata Tika, dikutip dari Antara.
Penderita depresi bisa mengakses layanan profesional contohnya di bagian Bimbingan Konseling (BK) di sekolah, Human Resource Departement (HRD) di perusahaan, bahkan fasilitas konseling di Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA).
Proses pemulihan depresi tergantung pada kasus serta level trauma yang dialami. Selain itu juga ditentukan oleh psikolinguistik dalam mempelajari faktor-faktor psikologis dan neurobiologis yang memungkinkan klien memahami bahasa.
Kasih Sayang Suami Kunci Kesehatan Mental Seorang Ibu Agar Tak Depresi hingga Bunuh Anak
Pelajaran dari Kasus Kanti Utami: Ibu yang Kurang Dukungan Suami Rentan Alami Depresi
Ciri-Ciri Seorang Ibu Mengalami Gangguan Mental hingga Depresi, Jangan Diabaikan!
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: