INDOZONE.ID - Setiap 14 Agustus diperingati sebagai Hari Pramuka Indonesia, sebuah momen penting yang merayakan lahirnya Gerakan Pramuka di Tanah Air.
Namun apakah kamu tahu peringatan ini juga sebagai simbol penghormatan kepada Bapak Pramuka Indonesia yang merupakan seorang sultan asal Yogyakarta.
Dia adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX, sultan asal Yogyakarta yang menjadi Bapak Pramuka Indonesia.
Baca Juga: Mengenal 14 Agustus sebagai Hari Pramuka: Sejarah dan Alasan Ditetapkan
Profil Bapak Pramuka Indonesia
Jenderal TNI (Tit.) (Purn.) H. Sri Sultan Hamengkubuwono IX pada 12 April 1912 - 02 Oktober 1988.
Sri Sultan Hamengkubuwana lahir dengan nama Gusti Raden Mas Dorodjatun adalah Sultan Yogyakarta yang kesembilan sekaligus Gubernur pertama Daerah Istimewa Yogyakarta.
Bapak Pramuka Indonesia adalah seorang Sultan asal Yogyakarta, yang ketika masih muda dikenal dengan nama GRM Dorojatun.
Ia menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia yang kedua dari tahun 1973 hingga 1978.
Selain itu, Hamengkubuwana IX juga menjadi Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka yang pertama dan dikenal sebagai Bapak Pramuka Indonesia.
Kehidupan Awal dan Pendidikan
Gusti Raden Mas Dorodjatun, yang kemudian dikenal sebagai Hamengkubuwana IX, lahir di Ngasem, Sompilan, Yogyakarta.
Ia adalah putra kesembilan dari Gusti Pangeran Puruboyo dan istri utamanya, Raden Ajeng Kustilah.
Pada tahun 1914, saat Dorodjatun belum berusia tiga tahun, Gusti Pangeran Puruboyo diangkat sebagai Putra Mahkota Yogyakarta.
Sebagai konsekuensinya, Raden Ajeng Kustilah menerima gelar Kanjeng Raden Ayu Adipati Anom pada tahun 1915.
Namun, KRA Adipati Anom tidak sempat menjadi Ratu Yogyakarta karena pada tahun 1918-1919, ia dipulangkan ke rumah ayahnya.
Menurut Monfries dan Roem dkk., pemulangan ini terjadi karena hubungan yang kurang harmonis antara KRA Adipati Anom dan mertuanya, sedangkan Romo Tirun menyebutkan bahwa latar belakangnya sebagai keturunan Untung Suropati, musuh Belanda, menjadi alasan pemulangan ini untuk melindunginya.
Ketika berusia empat tahun, Dorodjatun diperintahkan oleh ayahnya untuk tinggal terpisah dari keraton.
Perpisahan ini tidak mudah bagi Dorodjatun kecil yang menangis keras dan memeluk salah satu tiang keraton sebelum akhirnya dipisahkan.
Ia kemudian tinggal bersama keluarga Mulder, seorang Belanda yang menjabat sebagai Kepala Sekolah Neutrale Hollands Javaansche Jongens School dan tinggal di daerah Gondokusuman.
Selama tinggal bersama keluarga Mulder, Dorodjatun diberi nama panggilan Henkie, yang diambil dari nama Pangeran Hendrik dari Belanda.
Panggilan ini terus ia gunakan selama masa sekolah dan kuliahnya di Belanda, dan teman-teman dekatnya tetap memanggilnya Henkie bahkan hingga ia menjadi Hamengkubuwana IX di masa tuanya.
Henkie memulai pendidikannya di taman kanak-kanak Frobel School dan melanjutkan pendidikan dasar di Eerste Europese Lagere School B.
Setahun kemudian, ia pindah ke rumah keluarga Cock dan menempuh pendidikan di Neutrale Europeesche Lagere School hingga menyelesaikan studi pada Juli 1925.
Pada Februari 1921, ketika ia duduk di kelas III, ayahnya diangkat menjadi Hamengkubuwana VIII.
Di sekolah tersebut, Dorodjatun bertemu dengan Sultan Hamid II, yang saat itu dikenal dengan julukan Mozes, dan mereka menjadi teman.
Dorodjatun melanjutkan pendidikan menengahnya di Hoogere Burgerschool (HBS) Semarang pada Juli 1925.
Selama di Semarang, ia tinggal bersama keluarga Voskuil, yang merupakan seorang sipir penjara. Namun, karena cuaca di Semarang yang cukup panas, Dorodjatun merasa tidak nyaman dan kemudian dipindahkan oleh ayahnya ke HBS di Bandung pada tahun 1928.
Di Bandung, ia tinggal bersama kakaknya, BRM Tinggarto, di kediaman Letnan Kolonel De Boer, seorang tentara militer Belanda.
Dorodjatun dan kakaknya, Tinggarto, berangkat ke Belanda untuk melanjutkan pendidikan mereka sesuai perintah ayahnya.
Meski menghadapi tantangan akademis di awal, keduanya berhasil menyelesaikan pendidikan di Gymnasium di Haarlem pada tahun 1934.
Setelah itu, Dorodjatun melanjutkan studinya di Universitas Leiden dengan mengambil jurusan Indologi.
Namun, ia tidak dapat menuntaskan tesisnya karena harus kembali ke Hindia Belanda akibat pecahnya Perang Dunia II, sehingga Dorodjatun tidak sempat meraih gelar akademis dari universitas tersebut.
Sultan Yogyakarta
Setelah tiba di Batavia pada Oktober 1939, GRM Dorodjatun disambut oleh keluarganya di Pelabuhan Tanjung Priok.
Pamannya yang datang menjemput menunjukkan sikap hormat dan berbicara menggunakan bahasa krama inggil, bukan ngoko seperti biasanya.
Dorodjatun bersama rombongan kemudian menuju Hotel des Indes, tempat di mana ayahnya dan anggota keluarga lainnya menginap di Batavia.
Ketika seorang penguasa daerah sedang berada di Batavia, biasanya ada banyak kegiatan yang harus dihadiri.
Salah satu acara yang dihadiri oleh keluarga kerajaan bersama Dorodjatun adalah jamuan makan malam di Istana Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Saat mempersiapkan diri untuk acara tersebut, ayah Dorodjatun menyematkan keris Kyai Jaka Piturun kepadanya.
Keris ini biasanya diberikan kepada putra penguasa yang diinginkan menjadi penerus takhta, sehingga tindakan ini menandakan bahwa Dorodjatun dipilih sebagai pewaris Kesultanan Yogyakarta.
Setelah mengikuti serangkaian kegiatan selama tiga hari di Batavia, keluarga kerajaan dan Dorodjatun kembali ke Yogyakarta menggunakan Kereta Api Eendaagsche Express.
Dalam perjalanan, Hamengkubuwana VIII tiba-tiba jatuh sakit hingga tak sadarkan diri.
Setelah tiba di Yogyakarta, ia segera dibawa ke Rumah Sakit Onder de Bogen dan dirawat sampai akhirnya wafat pada 22 Oktober 1939.
Penobatan sebagai Sri Sultan Hamengkubuwana
GRM Dorodjatun resmi dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengkubuwana IX pada tanggal 18 Maret 1940, bertepatan dengan tanggal berlakunya kontrak politik dengan Pemerintah Hindia Belanda.
Gubernur Adam memimpin prosesi penobatan, memberikan dua gelar kepada Dorodjatun.
Gelar pertama, Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibya Raja Putra Narendra Mataram, menandakan statusnya sebagai Putra Mahkota.
Kemudian, ia dinobatkan dengan gelar lengkap sebagai Sri Sultan Hamengkubuwana IX: Sampéyan Dalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengkubuwana Sénapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sanga.
Upacara ini dihadiri oleh Sri Paku Alam, KGPAA Mangkunegara, serta dua pangeran dari Solo, bersama beberapa pejabat senior Belanda, seperti H.J. van Mook, Gubernur Semarang, dan Gubernur Solo.
Baca Juga: Isi Dasa Darma Pramuka: Kode Moral yang Menginspirasi Generasi Muda
Dalam kesempatan itu, Hamengkubuwana IX menyampaikan pidato yang tegas dan progresif, menekankan identitasnya sebagai seorang Jawa.
Penulis: Nadya Mayangsari
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Wikipedia