Selasa, 04 MARET 2025 • 14:25 WIB

Rela Donorkan Ginjal untuk Bos, Wanita Ini Malah Dipecat Tanpa Belas Kasihan!

Author

Rela Donorkan Ginjal untuk Bos, Wanita Ini Malah Dipecat Tanpa Belas Kasihan.

INDOZONE.ID - Seorang wanita yang rela mendonorkan ginjal demi membantu bosnya yang sakit justru mengalami nasib tragis, ia dipecat tak lama setelah operasi.

Hal ini terungkap dalam pengaduan yang diajukan ke Divisi Hak Asasi Manusia Negara Bagian New York.

Baca Juga: Viral Aksi Heroik Pria Papua Menggendong Pendaki yang Terluka di Gunung Slamet

Pada 2012 lalu, Deborah Stevens mengklaim bahwa mantan tempat kerjanya, Atlantic Automotive Group, telah mendiskriminasi dirinya karena kecacatan yang muncul akibat komplikasi pascaoperasi.

Ia pun berencana menuntut perusahaan tersebut untuk mendapatkan ganti rugi dan kompensasi atas pendapatan yang hilang.

Deborah, yang berasal dari Hicksville, NY, pertama kali mengetahui bahwa Jacqueline Brucia, seorang karyawan di Atlantic Automotive, membutuhkan ginjal pada November 2010.

Stevens mengungkapkan bahwa ia langsung menawarkan diri untuk mendonorkan ginjalnya.

"Brucia menolak, tetapi mengatakan kepadanya, 'Siapa tahu, saya mungkin harus menerima tawaran itu suatu hari nanti,'" demikian bunyi pengaduan yang diajukan.

Beberapa waktu kemudian, Brucia kembali menghubungi Stevens dan mengatakan bahwa calon pendonor sebelumnya belum disetujui oleh rumah sakit. Ia pun bertanya apakah Stevens masih bersedia mendonorkan darahnya.

Meskipun ginjal Stevens ternyata tidak cocok untuk Brucia, ia tetap setuju untuk mendonorkannya kepada orang asing di St. Louis.

Hal ini menciptakan rantai transplantasi yang akhirnya memungkinkan Brucia menerima ginjal dari pendonor lain di San Francisco.

Baca Juga: Dilelang Rp386 Miliar! Lukisan Banksy yang Hancur Ini Justru Makin Bernilai

Prosedur pengangkatan ginjal kiri Stevens dilakukan pada Agustus, dan ia kembali bekerja sekitar satu bulan setelahnya.

Namun, operasi ini berdampak serius pada kesehatannya, menyebabkan kerusakan saraf di kaki, gangguan pencernaan, serta masalah kesehatan mental, menurut keterangan pengacaranya.

Ironisnya, pada 11 April, perusahaan justru memecatnya dengan alasan kinerja.

Kisah ini pun menimbulkan perbincangan mengenai etika di tempat kerja dan bagaimana perusahaan memperlakukan karyawannya, terutama setelah mereka mengalami kondisi kesehatan yang mempengaruhi kemampuan kerja.

Kasus ini juga menyoroti pentingnya perlindungan hukum bagi pekerja yang menghadapi diskriminasi akibat masalah kesehatan yang timbul setelah melakukan tindakan suka rela.

Penulis: Eliani Kusnedi

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber: Dispatch.com