INDOZONE.ID - Agama islam menjelaskan puasa berasal dari kata "Saum", "Siyam" artinya menahan diri dari melakukan sesuatu. Puasa secara umum hanya diartikan sebagaimana manusia diperintahkan menahan lapar dan haus mulai adzan subuh sampai adzan maghrib berkumandang.
Seharusnya, berpuasa diartikan sebagai proses mengenalkan batas-batas diri yang sebenarnya dengan eksplorasi nilai-nilai dan kedalaman-kedalaman rohani lainnya.
Kedalaman rohani manusia diaktifkan kembali oleh Allah melalui peristiwa ibadah puasa khususnya di bulan Ramadhan ditandai sebagai sebuah perjalanan spiritual, bukan hanya menahan diri dari pantangan- pantangan yang membatalkan puasa.
Terdapat proses gerak laku hamba Allah untuk berkontemplasi mendobrak langit-langit kepekaan sosial melalui rasa em pati sosial yang selama ini terdiam dan terpendam oleh nafsu-nafsu dunia.
Baca Juga: Maanta Pabukoan, Tradisi Ramadhan dari Sumatera Barat yang Berlandaskan dari Hadits Nabi
Puasa harus masuk kedalam ruang waktu budaya manusia hingga gerak lakunya untuk merefleksikan puasa bukan sekedar menahan haus lapar, melainkan ikatan empati sosial harus melebihi arti dari menahan sifat konsumsi dalam diri.
Nabi Muhammad SAW di dalam buku Terjemahan Duratun Nasihin menjelaskan “kebanyakan orang muslim berpuasa tidak memetik hasilnya, kecuali lapar dan dahaga,”.
Penjelasan tersebut hampir relevan dengan sebagian muslim yang tidak menyelami arti dari puasa. Bagi mereka puasa hanya sekedar menunggu waktu kepuasan untuk berbuka.
Berbuka dalam hal apapun yang bersifat materialistik dan bersifat pelampiasan diri dari segala kemenangan apapun atas puasa menahan dirinya selama ini hingga menghilangkan makna berempati sosial.
Baca Juga: Bolehkah Zakat Fitrah Pakai Hewan Ternak? Ini Ketentuan dan Nisabnya
Puasa secara fundamental melatih manusia agar tergerak hatinya maupun akalnya merangkul rasa memiliki non materialistik, rasa memiliki kasih sayang terhadap sesama makhluk hidup dengan melawan nafsu egoistik atau hanya sekedar menguntungkan diri sendiri tanpa memberikan keuntungan bagi sesama manusia.
Menahan Diri : Lebih dari Sekedar Fisik
Berpuasa tidak hanya sekedar menahan lapar, haus, tetapi menahan diri dari rasa emosi yang sering kali mengganggu diri kita. Berpuasa menjadi momentum melatih diri kita agar disiplin mengatur atau mengendalikan hawa nafsu dan rasa emosi yang berlebihan.
Menahan diri dari hal-hal yang seringkali kita lakukan akan memberikan ruang refleksi bagi diri kita. Kita akan menjadi sadar apabila mempelajari setiap laku puasa secara kompleksitas dengan dasar arti menahan diri.
Dengan berpuasa, kita belajar tidak melakukan tindakan-tindakan impulsif dan akan lebih bijak lagi dalam menghadapi berbagai macam situasi.
Mengutip dari buku Terjemahan Duratun Nasihin Nabi Muhammad SAW menjelaskan “puasa adalah perisai, maka apabila salah seorang di antara kamu sedang berpuasa, janganlah berkata kotor dan jangan pula bertengkar,".
Penjelasan tersebut mengajarkan bahwa puasa bukan sekedar menahan lapar dan haus, tetapi menjaga diri dari perbuatan kerakusan akan apapun, sehingga perbuatan itu akan merusak nilai-nilai ibadah.
Seperti arti Surat At-Takatsur ayat 1, “ Berbangga-bangga dalam memperbanyak dunia telah melalaikan kamu, “ QS. At-Takatsur: 1.
Ketidakmampuan menahan diri dengan alasan kerakusan dunia demi mengejar hal-hal bersifat sementara ditambah dengan cara yang batil, akan mengurangi makna ibadah puasa yang selama ini kita lakukan selama 1 bulan penuh selama Ramadhan.
Selain itu, puasa memiliki manfaat luar biasa terhadap kesehatan jasmani. Mengutip dari Jurnal Excelsis Deo yang membahas tentang Teologi Puasa Dalam Perspektif Kesehatan, menjelaskan puasa dapat menstabilkan gula darah, meningkatkan metabolisme tubuh, dan memberikan kesehatan lambung, serta sistem pencernaan karena ketika manusia berpuasa sistem pencernaan beristirahat.
Membuka Empati : Merasakan Apa Yang Dirasakan Orang Lain.
Pelajaran terbesar dari puasa adalah bagaimana kita bisa lebih memahami perasaan dan bisa menolong orang-orang yang kurang beruntung atau orang-orang lemah akibat salah satu faktor penyebab. Rasa empati menjadi salah satu alasan perlunya manusia berpuasa untuk menajamkan kembali kepekaan sosialnya.
Empati dibangun berdasarkan kesadaran diri, semakin terbuka kita kepada emosi positif diri sendiri, maka semakin terampil kita membaca perasaan.
Hal sederhana saja di dalam puasa sering kali kita merasakan lapar, dan haus, maksud dari itu apabila kita amati secara mendalam mampu memunculkan kesadaran diri akan keterbatasan yang dimiliki oleh manusia-manusia lainnya.
Kemudian bagaimana kita menyikapi hal tersebut, salah satunya yakni dengan ikut membatasi diri atau menahan diri akan kemewahan atau keberlimpahan apapun untuk berhenti terhadap memperbanyak dunia.
Sebaliknya kita membantu dengan membangun rasa kemampuan empati sosial terhadap orang-orang yang dikalahkan oleh faktor ekonomi, politik, hingga pendidikan.
Dalam Al-Quran, Allah SWT berfirman:
“Mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan tawanan,” ( QS Al-Insan: 8).
Ayat ini menjadi pengingat bahwa puasa bukan sekedar menahan lapar dan haus semata, melainkan berbagi dengan sesama adalah bagian dari esensi puasa yang sebenarnya.
Mengutip dari buku Emotional intelligence Kecerdasan Emosional, Daniel Goleman menjelaskan kemampuan berempati yaitu kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain ikut berperan dalam pergulatan di arena kehidupan.
Inti hubungan antara empati dan kepedulian, ketika kepedihan orang lain merupakan kepedihan diri sendiri.
Momentum puasa Ramadhan bukan hanya tentang individu, tetapi tentang cara membangun rasa solidaritas sosial. Momen Ramadhan sebagai waktu yang tepat untuk berbagi, baik dalam bentuk makanan, sedekah harta, maupun tindakan kecil lainnya yang memberikan dampak besar bagi orang lain.
Terbukanya kemampuan berempati akan memberikan pengetahuan tersendiri bagi manusia bahwa kebahagiaan sejati bukan hanya tentang berlomba-lomba memenuhi kebutuhan sendiri, tetapi berlomba-lomba memberi dan melihat kondisi orang lain agar tetap bahagia ialah arti dari kebahagiaan bersama.
Allah SWT berfirman :
“Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan,” ( QS Al-Imran 134 ).
Bentuk kebaikan yang bisa dilakukan selama bulan Ramadhan antara lain:
- Menyisihkan sebagian rezeki untuk fakir miskin dan anak yatim.
- Menolong kerabat atau orang lain yang membutuhkan bantuan.
- Menjalankan ibadah lebih khusyuk dan mendukung orang lain untuk lebih dekat kepada Allah.
- Menjadi pribadi yang lebih berempati atas kondisi orang lain.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Jurnal Excelsis Deo: Vol.5.