Kamis, 12 JUNI 2025 • 16:30 WIB

De-Influencing, Gerakan Anti-Konsumerisme Melawan Gempuran Promosi di Media Sosial

Author

Tren de-influencing

INDOZONE.ID - Istilah "de-influencing" belakangan menjadi viral di media sosial, terutama di TikTok dan Instagram. Gerakan ini muncul sebagai respons terhadap budaya konsumerisme yang semakin digencarkan oleh influencer.

Alih-alih mempromosikan produk, tren de-influencing justru menyarankan para pengikut untuk berhenti membeli barang-barang yang dianggap tidak diperlukan atau tidak efektif.

Baca Juga: 50 Ucapan Selamat Menang Lomba yang Penuh Semangat dan Apresiasi

Asal-Usul "De-Influencing"

"De-influencing" pertama kali mulai mencuat ketika para pengguna media sosial mulai bosan dengan taktik pemasaran influencer yang memaksa produk-produk mahal dan terkadang tidak berguna ke dalam kehidupan sehari-hari.

Gerakan ini menjadi semacam antitesis dari fenomena "haul" dan "unboxing," di mana konsumen membeli produk dalam jumlah besar dan memamerkannya di media sosial.

De-influencers, sebaliknya, mengingatkan pengikut mereka bahwa tidak semua barang yang dipromosikan itu sepadan dengan harganya atau sesuai kebutuhan.

Baca Juga: Bisa Jajan, Bisa Nabung: Ini Cara Ngatur Uang Tanpa Drama

Dampak Tren De-Influencing

Pengaruh dari gerakan ini telah menciptakan perubahan yang signifikan dalam perilaku konsumen, terutama di kalangan generasi muda. Banyak orang yang merasa terbebas dari tekanan sosial untuk terus mengikuti tren terbaru.

Mereka mulai lebih selektif dalam memilih produk, mempertimbangkan keberlanjutan, kualitas, dan kegunaan jangka panjang daripada hanya membeli karena tren atau rekomendasi influencer.

Bagi beberapa merek, tren ini menjadi tantangan tersendiri. Brand yang sebelumnya mengandalkan influencer marketing harus beradaptasi dengan konsumen yang semakin kritis dan cerdas dalam melakukan pembelian.

Mereka dituntut untuk tidak hanya menjual produk, tetapi juga menawarkan nilai tambah seperti etika produksi, transparansi bahan, serta dampak lingkungan.

Baca Juga: 4 Tanda Cowok Lagi Bohong, Menurut Psikologi dan Bahasa Tubuhnya

Kritik terhadap Influencer dan Konsumerisme

De-influencing juga menyoroti sisi gelap dari industri influencer. Para kritikus berpendapat bahwa banyak influencer terlalu fokus pada keuntungan pribadi dan mengabaikan tanggung jawab mereka terhadap pengikut.

Ketika influencer terus-menerus mendorong produk, tanpa memperhatikan apakah produk tersebut benar-benar bermanfaat atau hanya sekadar tren, mereka dianggap turut berperan dalam menciptakan budaya konsumerisme berlebihan.

Hal ini menyebabkan kebangkitan influencer yang lebih autentik dan sadar sosial, yang lebih memilih untuk membagikan pengalaman mereka tentang produk yang mereka anggap benar-benar layak untuk dibeli atau digunakan, tanpa tekanan dari merek-merek besar.

De-influencers secara aktif melawan budaya "serba beli" yang menjadi ciri khas media sosial saat ini, dan ini menarik banyak pengikut yang merasa lebih terhubung dengan nilai-nilai keaslian.

Baca Juga: Kenapa Orang Jujur Sering Diserang? Padahal Niatnya Baik

Masa Depan De-Influencing

Meski tren ini baru muncul, "de-influencing" diprediksi akan terus berlanjut. Dalam dunia yang semakin terhubung secara digital, di mana konsumen selalu terpapar iklan dan promosi di setiap sudut, tren ini menawarkan jeda yang menenangkan.

De-influencers memberikan ruang bagi orang untuk kembali mempertimbangkan kebutuhan nyata mereka dan memberikan pandangan yang lebih seimbang tentang konsumsi.

Pada akhirnya, gerakan ini mengajak kita semua untuk berpikir lebih kritis tentang barang yang kita beli dan siapa yang memengaruhi keputusan pembelian kita. Apakah kita membeli karena kebutuhan, atau hanya karena sebuah tren yang viral?

 

Banner Z Creators.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber: Forbes, The Guardian, Vogue