INDOZONE.ID - Sebuah perusahaan di China menjadi sorotan publik. Bagaimana tidak, perusahaan itu membuat kebijakan kontroversial yang mengharuskan karyawan lajang dan bercerai untuk segera menikah.
Bahkan, ada batas waktu tertentu yang ditetapkan oleh perusahaan tersebut, bagi para karyawannya.
Bagaimana jika karyawan tidak melakukan kebijakan tersebut? Mereka akan mendapatkan sanksi, seperti diminta menulis surat kritik diri, dievaluasi, dan bahkan menghadapi kemungkinan pemecatan.
Baca Juga: Aksi Lucu Saat Kucing Ini Jalan Mode Paskibra, Netizen: Lucu Banget!
Shuntian Chemical Group di Provinsi Shandong, China Timur, dengan lebih dari 1.200 karyawan, adalah perusahaan yang mengumumkan kebijakan kontroversial tersebut.
Kebijakan bertujuan untuk meningkatkan angka pernikahan di perusahaan tersebut pada Januari.
Perusahaan ini mewajibkan karyawannya yang masih lajang dan bercerai dengan usia antara 28 dan 58 tahun untuk “menikah dan berumah tangga” paling lambat akhir September tahun ini.
Bahkan, mereka yang tidak melakukannya pada akhir Maret, perlu menulis surat kritik diri.
Jika mereka tidak menikah hingga akhir Juni, perusahaan akan melakukan "evaluasi" terhadap mereka.
Jika mereka masih lajang hingga akhir September, mereka akan dipecat.
Perusahaan tersebut juga telah mendukung kebijakan yang menekankan nilai-nilai tradisional China, seperti kesetiaan dan bakti kepada orang tua.
"Tidak menanggapi seruan pemerintah untuk meningkatkan angka pernikahan adalah tindakan tidak setia. Tidak mendengarkan orang tua bukanlah tindakan berbakti. Membiarkan diri melajang bukanlah tindakan yang baik. Tidak memenuhi harapan rekan kerja adalah tindakan yang tidak adil," menurut isi pengumuman, dilansir dari South China Morning Post, Kamis (27/2/2025).
Perlu diketahui, perusahaan ini didirikan pada 2001. Perusahaan ini adalah salah satu dari 50 perusahaan teratas di Kota Linyi, tempat perusahaan ini berada.
Biro sumber daya manusia dan jaminan sosial setempat mengatakan kepada The Beijing News, bahwa mereka memeriksa perusahaan tersebut pada 13 Februari 2015.
Dalam waktu kurang dari sehari, perusahaan tersebut mengatakan telah mencabut kebijakan tersebut.
Seorang staf pemerintah mengatakan, pemberitahuan perusahaan itu melanggar Hukum Ketenagakerjaan dan Hukum Kontrak Kerja China.
Profesor madya di Sekolah Hukum Universitas Peking, Yan Tian, mengatakan kebijakan tersebut bertentangan dengan kebebasan menikah dan karenanya tidak konstitusional.
Yan mengatakan, bahwa perusahaan Tiongkok tidak seharusnya meminta rencana pernikahan atau kelahiran dari para pelamar kerja berdasarkan undang-undang ketenagakerjaan, meski pada kenyataannya itu biasa tidak terjadi.
Jumlah pernikahan di China turun ke titik terendah yakni 6,1 juta tahun lalu, turun 20,5 persen dari 7,68 juta tahun sebelumnya.
China mencatat 9,54 juta bayi baru lahir tahun lalu, meningkat 520.000 dari 2023.
Ini adalah kenaikan pertama indeks tersebut sejak tahun 2017.
Baca Juga: Aksi Lucu Polisi Lari Masuk ke Mobil untuk Hindari Pitbull Lepas, Bikin Netizen Ngakak
Namun, seorang demografer di Institut Penelitian Populasi YuWa China, He Yafu, mengatakan, kenaikan tersebut hanya terjadi karena banyak keluarga yang lebih menyukai anak lahir di Tahun Naga.
Kurangnya minat kaum muda untuk menikah bahkan mendorong beberapa pemerintah untuk memberikan insentif bagi pernikahan dini.
Sementara itu, sebuah kota di Provinsi Shanxi, China Tengah, menawarkan hadiah 1.500 yuan atau sekitar Rp3.393.000 kepada wanita di bawah usia 35 tahun dan pria yang menikah untuk pertama kalinya.
Kasus kontroversial perusahaan China ini, memang sudah berakhir dengan pencabutan aturan.
Namun, tetap meninggalkan pertanyaan besar tentang batasan antara kehidupan pribadi dan profesional.
Jika status lajang saja bisa dipermasalahkan, bukan tidak mungkin di masa depan akan ada kebijakan lain yang makin jauh mencampuri urusan pribadi karyawan.
Sejatinya, kejadian ini bersumber dari makin menurunnya angka kelahiran di beberapa negara.
Selain China, Jepang dan Korea Selatan juga mengalami masalah serupa.
Kejadian ini menjadi pengingat, bahwa aturan di tempat kerja seharusnya berfokus pada kinerja, bukan pada pilihan hidup seseorang.
Penulis: Eliani Kusnedi
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: South China Morning Post