Sapardi Djoko Damono (Instagram/@damonosapardi)
Hampir semua orang Indonesia pasti tahu Sapardi Djoko Damono, sastrawan yang terkenal dengan karya puisi-puisinya.
Saking populernya, beberapa puisi Sapardi Djoko Damono bahkan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.
Tak hanya itu, salah satu puisi karya Sapardi Djoko Damono berjudul Hujan Bulan Juni, diangkat menjadi sebuah film.
Enggak heran kalau kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono sering dibuat musikalisasi oleh para penggemarnya.
Ada banyak puisi Sapardi Djoko Damono yang terkenal sampai sekarang, berikut INDOZONE bagikan puisi karya Sapardi Djoko Damono yang paling terkenal.
Yang Fana Adalah Waktu adalah salah satu puisi ciptaan Sapardi Djoko Damono yang ada di dalam buku antologi sajak Hujan Bulan Juni.
Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa
"Tapi,
yang fana adalah waktu, bukan?"
tanyamu. Kita abadi.
1978
Hujan Bulan Juni merupakan kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono yang terdiri atas 102 puisi yang ditulis dari tahun 1964 sampai 1994.
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
Dari sekian banyak puisi yang diciptakan Sapardi Djoko Damono, Aku Ingin termasuk puisi yang paling romantis meski menggunakan kata-kata sederhana.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
1989
Sajak Kecil Tentang Cinta merupakan puisi Sapardi Djoko Damono yang terdapat di dalam buku berjudul Melipat Jarak.
Mencintai angin harus menjadi siut
Mencintai air harus menjadi ricik
Mencintai gunung harus menjadi terjal
Mencintai api harus menjadi jilat
Mencintai cakrawala harus menebas jarak
Mencintai-Mu harus menjelma aku
Melalui puisi Pada Suatu Hari Nanti, Sapardi Djoko Damono ingin mengingatkan bahwa kematian bisa datang kapan saja.
Pada suatu hari nanti,
Jasadku tak akan ada lagi,
Tapi dalam bait-bait sajak ini,
Kau tak akan kurelakan sendiri.
Pada suatu hari nanti,
Suaraku tak terdengar lagi,
Tapi di antara larik-larik sajak ini.
Kau akan tetap kusiasati,
Pada suatu hari nanti,
Impianku pun tak dikenal lagi,
Namun di sela-sela huruf sajak ini,
Kau tak akan letih-letihnya kucari.
Meski judulnya singkat, puisi karya Sapardi Djoko Damono yang satu ini memiliki makna yang sangat mendalam dan menyentuh hati.
Hanya suara burung yang kau dengar
dan tak pernah kaulihat burung itu
tapi tahu burung itu ada di sana
Hanya desir angin yang kaurasa
dan tak pernah kaulihat angin itu
tapi percaya angin itu di sekitarmu
Hanya doaku yang bergetar malam ini
dan tak pernah kaulihat siapa aku
tapi yakin aku ada dalam dirimu
Menjenguk Wajah di Kolam mengisahkan seorang gadis yang sedang merasa kesepian, makanya puisi ini ada di dalam buku kumpulan puisi Perihal Gendis.
Jangan kau ulang lagi
menjenguk
wajah yang merasa
sia-sia, yang putih
yang pasi
itu.
Jangan sekali-
kali membayangkan
Wajahmu sebagai
rembulan.
Ingat,
jangan sekali-
kali. Jangan.
Baik, Tuan.
Puisi Sapardi Djoko Damono yang paling terkenal salah satunya yaitu Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari.
Waktu berjalan ke barat di waktu pagi hari
matahari mengikutiku di belakang
Aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri
yang memanjang di depan
Aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami
yang telah menciptakan bayang-bayang
Aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami
yang harus berjalan di depan
Ruang Tunggu dimuat dalam buku kumpulan sajak milik Sapardi yang berjudul Ayat-Ayat Api.
ada yang terasa sakit
di pusat perutnya
ia pun pergi ke dokter
belum ada seorang pun di ruang tunggu
beberapa bangku panjang yang kosong
tak juga mengundangnya duduk
ia pun mondar-mandir saja
menunggu dokter memanggilnya
namun mendadak seperti didengarnya
suara yang sangat lirih
dari kamar periksa
ada yang sedang menyanyikan
beberapa ayat kitab suci
yang sudah sangat dikenalnya
tapi ia seperti takut mengikutinya
seperti sudah lupa yang mana
mungkin karena ia masih ingin
sembuh dari sakitnya
Sapardi Djoko Damono menulis Hatiku Selembar Daun pada tahun 1984. Berbeda dengan karya lainnya, puisi ini mengangkat tema tentang Ketuhanan.
Hatiku selembar daun
melayang jatuh di rumput;
Nanti dulu,
biarkan aku sejenak terbaring di sini;
ada yang masih ingin kupandang,
yang selama ini senantiasa luput;
Sesaat adalah abadi
sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.
Sama seperti Hujan Bulan Juni, puisi Sapardi Djoko Damono yang satu ini menceritakan tentang cinta.
Kuhentikan hujan
Kini matahari merindukanku, mengangkat kabut pagi perlahan
Ada yang berdenyut dalam diriku
Menembus tanah basah
Dendam yang dihamilkan hujan
Dan cahaya matahari
Tak bisa kutolak
Matahari memaksaku menciptakan bunga-bunga
Akulah Si Telaga bercerita mengenai perjalanan hidup manusia yang bisa berjalan panjang maupun pendek.
akulah si telaga:
berlayarlah di atasnya;
berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil
yang menggerakkan bunga-bunga padma;
berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;
sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja
perahumu biar aku yang menjaganya.
1982
Itulah kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono yang paling terkenal dari karya sastranya. Mana nih puisi favorit kamu?
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: