Minyak goreng satu harga yang dibanderol Rp14 ribu per liter mulai mengalami kelangkaan. Hal ini memicu keluhan dari masyarakat di beberapa daerah terdampak.
Hingga saat ini banyak Ibu Rumah Tangga (IRT) yang mengaku masih belum kebagian minyak goreng murah tersebut. Padahal program minyak goreng satu harga ini sudah berlangsung sejak seminggu lalu.
Menanggapi hal itu, Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tata Tertib Niaga (PKTN) Kementerian Perdagangan, Veri Anggrijono mengatakan kelangkaan tersebut dikarenakan adanya fenomena panic buying dari masyarakat.
Namun bagaimanakah panic buying bisa terjadi di masyarakat? Benarkah fenomena ini ada kaitanya dengan sisi psikologi seseorang?
Mengutip dari NCBI, panic buying adalah aksi memborong sesuatu karena ketakutan yang berlebihan. Ketakutan di bermakna khawatir bahwa barang tersebut tidak lagi bisa didapatkan, baik karena tidak kebagian, harganya tiba-tiba melambung, kelangkaan dan sebagainya.
Baca juga: Minyak Goreng Ramai Diburu, Ini Sederet Manfaatnya untuk Kesehatan
Fenomena panic buying sendiri sudah terjadi dalam banyak hal. Misalnya saat awal-awal pandemi lalu, ketika masker dan hand sanitizer mengalami kelangkaan karena orang sangat khawatir terhadap ancaman COVID-19.
Begitu juga setelahnya, ketika produk medis dan makanan seperti vitamin, obat, sampai susu juga langka. Semua disebabkan karena ketakutan atau kekhawatiran yang berlebihan.
Hal ini lantas menjelaskan bahwa panic buying bisa dijelaskan dari segi psikologis. Nah mengutip dari Psychology Today, berikut beberapa alasan psikologi di balik panic buying yang kerap terjadi.
1. Keputusan emosional
Saat mengambil suatu keputusan, ada dua cara berpikir yang biasa digunakan, yakni secara logis dan emosional. Pada kasus panic buying tentu saja yang dipakai ialah sisi emosional.
Pikiran logis tentu memberitahu kita untuk tidak perlu beli terlalu banyak barang. Tapi, otak emosional pertimbangannya lebih baik aman punya dulu daripada menyesal kemudian.
Akibatnya kita akan mengikuti kemauan untuk membeli barang terlalu banyak dan tidak memikirkan nasib orang lain.
Selain itu, pikiran emosional sangat sangat selaras dengan citra visual. Sehingga ketika bertebaran foto atau video berita orang jamak membeli atau memborong sesuatu, tanpa sadar pikiran emosional juga terdorong melakukannya.
2. Kecemasan antisipatif
Alasan panic buying lainnya yakni kecemasan antisipatif atau ketakutan yang sebenarnya belum tentu kejadian.
Misalkan, dalam kasus ini, takut kehabisan minyak goreng. Padahal produsen masih terus membuatnya, meskipun mungkin ada kendala.
Tetapi panic buying bukanlah solusi tepat. Ada cara lain yang bisa dipilih.
3. Ketakutan yang menular
Sama seperti virus, ketakutan atau kecemasan panic buying juga menular. Jika seseorang khawatir kehabisan suatu barang, orang lain yang melihat sekitarnya panik jadi ketularan. Padahal awalnya tidak ada alasan rasional untuk takut.
Dari satu orang yang panik dan menulari sekitarnya, akhirnya muncul sekelompok orang yang spontan panik bersama-sama.
4. Mentalitas kelompok
Sebagai makhluk sosial, manusia secara alami menafsirkan situasi berbahaya berdasarkan reaksi orang sekitarnya. Ini adalah mentalitas kelompok yang membuat orang jadi ikut-ikutan panic buying.
Ketika naluri komunal muncul, orang-orang berhenti mempertimbangkan sesuatu secara logis dan mulai mengambil keputusan seperti orang lain.
5. Gagal berdamai dengan ketidakpastian
Gagal berdamai dengan ketidakpastian membuat seseorang frustasi dan enggan menerima hal negatif di masa depan.
Intoleransi ini semakin tinggi, terutama bagi orang yang sebelumnya punya gangguan kecemasan, atau sering mengkhawatirkan hal remeh-temeh.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: