Ilustrasi pria (unsplash.com/@alimorshedlou)
Toxic Masculinity adalah sebuah sikap yang ditimbulkan oleh pria dan memiliki arti yang negatif. Sesuai dengan namanya, kondisi ini timbul karena sikap maskulin yang cenderung lebih arogan dari seorang pria.
Seseorang yang mengenali sikap ini seringkali merasa dirugikan hingga menggangu kesehatan mental dirinya dan orang lain. Lalu, apa itu toxic masculinity sebenarnya? Berikut ini ulasan lengkapnya.
Toxic Masculinity merupakan sikap yang timbul dari adanya tekanan bagi kaum pria. Tekanan dalam hal ini merujuk pada nilai-nilai sikap yang harus dimiliki seorang pria. Misalnya, seperti laki-laki tidak boleh menangis, laki-laki harus selalu kuat, harus berkuasa, tidak boleh lemah, dan sebagainya.
Tuntutan ini menjadikan pria tidak ingin terlihat kelemahannya dan mencoba untuk selalu menunjukan maskulinitasnya untuk menghindari perkataan 'laki-laki lemah'. Pada sebagian orang, hal ini menjadi suatu hal yang merugikan atau toxic.
Kondisi yang cukup merugikan pria ini, umumnya timbul karena kebanyakan anak laki-laki dididik untuk menjadi sosok yang tangguh dan dituntut untuk selalu bisa diandalkan.
Didikan tersebut adalah pemikiran tradisional perihal gender dan sifat laki-laki. Dilansir dari psychologyinaction.org, maksulin itu sendiri pada dasarnya tidak toxic, namun definisi maskulin dalam norma bisa membuat sikap maskulin menjadi sikap yang merugikan.
Dalam hal ini, definisi masukilin dalam norma merujuk kepada perilaku yang merugikan kehidupan sosial, seperti misogini atau bentuk diskriminasi terhadap gender perempuan, homofobia, kekerasan, dan masalah kesehatan mental.
Bagi laki-laki, menunjukan emosi termasuk bagian dari kelemahan, dan sebaliknya menunjukan kejantanan dengan memperlihatkan kekuatan, ketangguhan, wibawa, bersikap dominan seperti adat partriarki menjadi maskulin bagi laki-laki.
Sikap maskulin tersebut pada dasarnya tidak toxic, namun, sikap tersebut bisa menjadi toxic masculinity jika tampak pada ciri-ciri berikut ini:
Di sisi lain, sikap maskulin juga tercermin dalam anggapan bahwa pria tidak boleh mengerjakan atau memiliki minat terhadap pekerjaan yang dianggap hanya boleh dilakukan perempuan, seperti memasak, menjahit, hingga mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Agar tidak terjebak dalam konsep maskulin, langkah pertama yang bisa dilakukan adalah memperbaiki pola asuh orang tua terhadap anak laki-laki.
Beberapa cara bisa diterapkan setiap orang tua untuk menjauhkan anak laki-lakinya dari pola pikir toxic masculinity, seperti mengajarkan dan mengizinkan anak untuk bisa mengekspresikan diri dalam bentuk emosi apapun.
Selain itu, tumbuhkan rasa empati dengan memahami perasaan dirinya sendiri dan orang lain, serta dapat mengontrol emosinya dengan baik. Nilai kesopanan dan mengajaknya untuk bisa memposisikan dirinya sebagai orang lain juga perlu diajarkan.
Di sisi lain, ajarkan juga untuk tidak melontarkan perkataan yang merendahkan perempuan seperti misalnya “cara jalanmu seperti perempuan” atau “Jangan berbicara seperti perempuan”.
Ini akan membuat anak laki-laki memandang perempuan sebelah mata dan sulit untuk menghargai dan memahami perempuan.
Adapun cara mencegah dan mengatasi toxic masculinity adalah dengan mengawasi media hiburan anak. Pastikan konten tidak menunjukkan adanya konsep maskulinitas yang salah dan berikanlah pemahaman bahwa hal tersebut bukanlah sesuatu yang patut untuk dicontoh.
Itulah beberapa hal mengenai toxic masculinity yang dapat kamu ketahui. Menyadari ciri-ciri toxic masculinity, terutama pada anak-ana, tidak hanya bermanfaat bagi kehidupan pria.
Namun, ini bisa juga menumbuhkan pemahaman maskulinitas yang sehat sebagai upaya untuk menekan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: