Sekolah kedokteran di era kolonial. (Wikimedia)
INDOZONE.ID - Onderwijs van Inlandsche élèves voor de Geneeskunde en Vaccine atau yang biasa dikenal sebagai sekolah kedokteran bumiputra (Dokter Djawa School) berhasil didirikan di Weltevreden (Jakarta Pusat) pada tanggal 1 Januari 1851.
Sekolah tersebut merupakan hasil kerja keras dr. Willem Bosch, yaitu seorang Kepala Dinas Kesehatan Hindia Belanda dari 1849-1853 melalui Keputusan Gubernemen (pemerintah) No. 22 pada tanggal 2 Januari 1849 yang berisikan tentang pelatihan pemuda Jawa sebagai tenaga medis dan mantri cacar.
Pada abad ke-19, Hindia Belanda dilanda berbagai penyakit mematikan seperti kolera, malaria, tifus, dan terutama cacar yang menjadi momok paling mematikan dan membunuh banyak orang, termasuk bangsawan local, seperti Pangeran Antasari dan Sultan Siak.
Permasalahan tersebut memantik pemerintah Hindia Belanda untuk mencari solusi murah dan cepat untuk menangani krisis kesehatan karena sistem kesehatan kolonial tidak yang tidak siap.
Dokter Djawa School awalnya hanya memiliki 12 siswa atau disebut eleves. Mereka dididik selama dua tahun untuk mempelajari cara melakukan vaksinasi dan membantu orang yang menderita demam dan penyakit ringan lainnya.
Namun seiring berjalannya waktu, kurikulum telah mengalami perluasan dan waktu masa studi diperpanjang menjadi 7 tahun dengan kapasitas penerimaan mencapai 100 calon siswa berusia antara 14-18 tahun.
Masa studi pendidikan menjadi tujuh tahun terdiri dari bagian pertama dan kedua. Bagian pertama terdiri dari dua tahun pendidikan awal, di mana siswa diajarkan mata pelajaran pengantar (voorbereidende afdeling) yang mencakup bahasa Belanda, fisika dasar, sejarah, matematika, dan geografi Belanda, serta Hindia.
Bagian kedua, siswa diajarkan mata pelajaran inti (geneeskundige afdeling), di mana mereka melakukan praktik klinis. Perubahan tersebut menandai langkah awal menuju fase baru yang lebih maju dalam penyelenggaraan pendidikan kedokteran bagi pribumi.
Dokter Djawa School pada akhirnya berubah menjadi STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) sebagai bentuk peningkatan status akademik pada 1898.
Kesamaan tujuan dan pandangan menghasilkan Budi Utomo sebagai wadah perjuangan yang lebih besar. Siswa STOVIA, terutama Soetomo dan rekan-rekannya seperti M. Suradji, M. Mohammad Saleh, Mas Suwarno, Muhammad Sulaiman, Gunawan, dan Gumberg, memainkan peran penting dalam organisasi tersebut.
Lulusan STOVIA tidak semata-mata berperan sebagai mantri cacar atau vaksinator, tetapi juga berpartisipasi dalam program penyuluhan kesehatan dan menjadi motor penggerak dalam proses kebangkitan nasional.
BACA JUGA: Sejarah Perjuangan Dokter Pribumi: VIG dan Awal Kebangkitan Nasionalisme Kedokteran Indonesia
Tahun 1927, STOVIA bertransformasi menjadi Geneeskundige Hoogeschool (GHS). GHS menyusun kurikulum yang ketat dengan total masa studi tujuh tahun yang mencakup satu tahun tahap propedeuse, dua tahun tahap pengajaran tingkat kandidat, dua tahun tahap doktoral, dan dua tahun praktik klinis.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Jurnal Agastya