Vaksinasi cacar di Pulau Jawa abad ke-19
INDOZONE.ID - Wabah penyakit sudah lama ada di Indonesia. Di masa pemerintahan kolonial Belanda, wabah penyakit menjadi salah satu momok yang ditakuti. Dari banyak penyakit yang melanda Hindia Belanda pada saat itu, cacar adalah salah satu epidemi yang paling mematikan.
Hindia Belanda menghadapi wabah penyakit cacar air (Variola major/smallpox) dan cacar sapi (Varicela major/cowpox) yang menjadi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat.
Penyakit ini tidak hanya menyebar luas di Pulau Jawa, tetapi juga menyebabkan kematian massal, terutama di kalangan anak-anak dan penduduk dengan imunitas yang rendah.
Perlu diketahui bahwa kedua penyakit tersebut disebabkan oleh dua virus yang berbeda. Cacar air adalah sebuah penyakit yang disebabkan oleh virus Varicella zoster yang merupakan jenis virus variola yang paling berbahaya.
Virus tersebut menimbulkan ruam merah yang kemudian berkembang menjadi kantung-kantung berisi cairan yang apabila pecah dapat menyebarkan virus ke area tubuh lain.
Sedangkan, penyakit cacar sapi yang juga dikenal sebagai cowpox, disebabkan oleh virus Orthopoxvirus, yaitu genus yang sama dengan virus Variola tetapi bersifat pasif dan tidak berbahaya. Namun, keduanya memiliki tingkat penyebaran yang sama tinggi.
Penyakit menyebar bukan hanya karena mutasi virus tetapi juga karena adanya faktor eksternal seperti ketersediaan makanan, tingkat aktivitas manusia, dan kondisi geografis yang berbeda.
Pemerintah kolonial Belanda melakukan upaya penanggulangan, terutama setelah Edward Jenner mengembangkan vaksin cacar pertama pada 1798.
Sekitar tahun 1804, vaksinasi dikirim dari Eropa ke Hindia Belanda dengan menggunakan metode vaksin hidup dengan menggunakan anak-anak yatim piatu sebagai inang sementara antibodi.
Namun, keefektifan vaksin masih dipertanyakan karena beberapa orang yang telah divaksinasi kembali terserang cacar. Selain itu, distribusi vaksin menjadi sulit, terutama karena jarak, kekurangan tenaga medis, dan fasilitas yang kurang di luar Batavia.
Tidak hanya secara teknis, vaksinasi juga menghadapi resistensi masyarakat. Sebagian orang Jawa menganggap vaksin sebagai pelanggaran takdir Tuhan bahkan ada mitos bahwa vaksinasi akan membuat anak-anak menjadi "makanan buaya".
Penolakan ini menyebar ke berbagai wilayah seperti Madiun, Surabaya, dan Semarang, serta diperparah oleh propaganda yang dilakukan oleh tokoh adat dan agama lokal.
Untuk menghadapi perlawanan tersebut, pemerintah mulai melibatkan “mantri cacar”, yaitu pribumi yang menyebarkan vaksin ke berbagai wilayah Pulau Jawa.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: JURNAL DARI “DIMAKAN BUAYA” SAMPAI “MELAWAN TAKDIR” PENOLAKA