INDOZONE.ID - Abad ke-19 menjadi periode yang penuh dinamika dalam sejarah Indonesia. Di tengah kuatnya cengkeraman kolonialisme Belanda, lahir seorang perempuan bangsawan Jawa yang pemikirannya menjadi awal dari kesadaran emansipasi perempuan di Indonesia: Raden Ajeng Kartini.
Lahir pada 21 April 1879 di Jepara, Kartini adalah putri dari keluarga priyayi yang cukup terbuka terhadap pendidikan.
Meski hidup di tengah sistem sosial feodal dan kolonial yang mengekang perempuan, Kartini justru menjadi simbol pembebasan pemikiran dan semangat perubahan.
Latar Sosial dan Budaya
Kartini tumbuh dalam lingkungan Jawa yang kental dengan adat dan tradisi patriarkal. Perempuan, khususnya dari kalangan bangsawan, kerap dipingit dan dipersiapkan hanya untuk menjadi istri dan ibu rumah tangga.
Baca Juga: 30 Caption Hari Kartini 2025 dalam Bahasa Inggris, Singkat dan Penuh Arti
Pendidikan bagi perempuan adalah hal langka, dan hak berbicara di ruang publik hampir mustahil.
Kartini sempat mengenyam pendidikan di ELS (Europese Lagere School), namun setelah beranjak remaja, ia harus dipingit sesuai adat. Di masa pingitan inilah Kartini banyak membaca buku-buku berbahasa Belanda dan mulai menjalin korespondensi dengan sahabat-sahabat Eropanya.
Pemikiran-Pemikiran Emansipatif
Melalui surat-suratnya yang kemudian dihimpun dalam buku "Door Duisternis tot Licht" (Habis Gelap Terbitlah Terang), kita dapat melihat betapa tajam pemikiran Kartini terhadap kondisi sosial saat itu. Ia mempertanyakan ketimpangan gender, ketidakadilan dalam sistem pendidikan, dan keterbatasan ruang gerak perempuan.
Kartini bukan hanya mengkritik adat yang menindas perempuan, tetapi juga mengajukan gagasan bahwa perempuan harus memperoleh hak yang sama dalam pendidikan dan kehidupan sosial.
Baginya, pendidikan adalah kunci pembebasan. Ia percaya bahwa perempuan yang terdidik akan mampu mendidik generasi yang lebih baik dan ikut serta dalam pembangunan bangsa. Pemikirannya melampaui zamannya, dan memperlihatkan benih-benih feminisme yang progresif dalam konteks lokal Indonesia.
Baca Juga: Simbol Perjuangan Emansipasi Wanita, Makna Hari Kartini Bagi Aktris Sheila Dara Aisha
Konteks Abad ke-19 dan Kolonialisme
Pada akhir abad ke-19, Hindia Belanda mulai memperkenalkan kebijakan Politik Etis—upaya yang konon untuk “membalas budi” kepada rakyat jajahan. Dalam kerangka ini, pendidikan mulai dibuka secara terbatas bagi pribumi.
Namun kebijakan ini masih sangat terbatas dan bias kelas serta gender. Kartini melihat ketidakadilan tersebut dan menyuarakan perlunya akses pendidikan tanpa diskriminasi, baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Pemikiran Kartini menjadi penting karena ia menulis dan berbicara sebagai seorang perempuan Jawa yang hidup dalam sistem kolonial. Ia bukan hanya menuntut keadilan untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk seluruh perempuan di tanah jajahan.
Pandangan kritisnya terhadap kolonialisme, adat, dan patriarki memperlihatkan kesadaran sosial dan politik yang jarang dimiliki perempuan pada zamannya.
Warisan dan Relevansi
Kartini wafat pada tahun 1904, dalam usia yang sangat muda, 25 tahun. Namun pemikiran dan semangatnya tak padam. Buku surat-suratnya diterbitkan oleh J.H. Abendanon dan menjadi inspirasi bagi gerakan perempuan Indonesia di masa berikutnya.
Di era pergerakan nasional, nama Kartini menjadi simbol perjuangan emansipasi.
Kini, Kartini dikenang setiap tanggal 21 April, bukan sekadar sebagai pahlawan nasional, tetapi sebagai pelopor pemikiran progresif tentang perempuan, pendidikan, dan kebebasan berpikir.
Di abad ke-21 ini, semangat Kartini tetap relevan—mengajak kita untuk terus memperjuangkan kesetaraan, akses pendidikan, dan hak-hak perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Jurnal