Ilustrasi menunda pekerjaan. (Freepik/@pressfoto)
INDOZONE.ID - Pernah nggak ngerasa, “Aduh, tugas ini nanti dulu aja,” padahal deadline makin deket? Kalau kamu sering begini, hati-hati! Namun sadar nggak sih, menunda (prokrastinasi) itu bisa jadi salah satu penyebab utama kamu gagal meraih promosi?
Menunda bukan cuma soal naluri malas, tapi sering kali cerminan dari cara kita mengatasi ketakutan, perfeksionisme, atau bahkan soal gimana otak kita milih kesenangan jangka pendek daripada hasil jangka panjang. Kita bakal ngajak kamu menyelami kenapa menunda itu bahaya buat karier, tentu saja dengan gaya yang ringan dan nggak bikin kamu menguap.
Kadang kita pikir menunda tugas itu sama dengan “malas”, tapi sebetulnya ini soal pengaturan diri dan kontrol impuls.
Piers Steel, psikolog dari Universitas Calgary, menemukan bahwa prokrastinasi erat kaitannya dengan impuls dan mungkin punya faktor genetik.
Jadi, bukan sekadar soal kemauan, tapi bagaimana otak kamu memilih jalan cepat, yaitu "nanti aja".
Kalau kamu sering telat kerjaan, atasan dan rekan bisa mulai menganggapmu nggak bisa diandalkan.
Setiap deadline yang terlewat atau kerjaan setengah matang itu menurunkan nilai profesionalmu. Padahal, reputasi itu aset penting buat dipromosi.
Menurut riset Ahead App, pekerja yang sering menunda punya 15% lebih kecil kemungkinan dipromosikan.
Selain itu, studi besar memaparkan kalau menunda berhubungan dengan gaji lebih rendah seiring adanya satu poin skala prokrastinasi naik.
Bisa kebayang kan, meski kerjanya oke, kalau lambat dan selalu terkesan terburu-buru, atasan bisa pindah fokus ke orang lain.
Menunda bikin stres menumpuk. Saat deadline makin dekat, stres makin naik, fokus gampang buyar, dan jadwal tidur kamu jadi nggak karuan.
Lama-lama, energi kendor dan mood gampang drop, padahal energi itu sebenarnya dibutuhkan banget untuk tampil optimal saat evaluasi kenaikan jabatan.
Prokrastinasi bikin kamu enggan menerima tugas yang menantang, padahal, itulah bahan bakar utama untuk naik level.
Proyek penting, pelatihan baru, atau kolaborasi strategis malah kamu hindari karena mindset nyaman di zona aman.
Padahal, bos lebih melihat siapa yang berani ambil inisiatif dan berkembang.
Kebiasaan menunda membuat kamu merasa minder dan kurang berharga.
Ujungnya, rasa percaya diri menipis dan membuat mental kamu semakin rentan untuk menyabotase diri sendiri.
Urusan promosi bisa terasa kayak mimpi yang jauh di awang-awang.
Baca juga: 5 Cara Mengatasi Kebiasaan Menunda Pekerjaan dan Jadi Lebih Produktif
Ilustrasi zodiak pekerja keras (Pexels/Burst)
Apakah kamu takut gagal? Perfeksionis? Atau gampang tergantung pada sensasi deadline?
Kalau semakin sadar, semakin gampang cari strategi.
Daripada mikirin “bikin laporan tahunan ribet!”, mulai dari “siapkan outline”, “kumpulin data sales”, dan seterusnya.
Ini membantu lawan rasa kewalahan.
Pakai teknik kerja 25 menit fokus penuh, lalu istirahat 5 menit. Ulangi beberapa siklus demi jaga fokus tetap tinggi.
Contohnya, “Kalau udah baca email, langsung balas kalau butuh lebih dari 5 menit kerjaan.”
Rencana semacam ini bisa bikin kebiasaan lebih konsisten.
Nonaktifkan notifikasi media sosial, pakai app-blocker, atau pindah tempat kalau lingkungan kerja terlalu ramai.
Selesai tugas? Hadiahi diri sendiri, misalnya kopi, jalan pagi, atau ngobrol singkat.
“Keistimewaan kecil” ini bisa bikin kamu tetap termotivasi.
Baca juga: Suka Nulis? Ini 7 Pekerjaan Seru yang Bisa Bikin Kamu Cuan!
Teman, mentor, atau rekan bisa jadi pengingat pas kamu mulai menunda.
Kamu sayang reputasi di depan orang lain? Gunakan itu sebagai motivasi.
Menunda itu manusiawi, tapi kalau dibiarkan, bisa menghambat kamu buat unjuk gigi dan naik jabatan.
Jika kamu terus menunda, bisa-bisa kamu merusak reputasi diri sendiri sampai terjebak di zona nyaman.
Untungnya, ada banyak cara gampang dan masuk akal buat ngebantu kamu lepas dari kebiasaan nunda-nunda ini.
Ingat! Promosi bukan cuma soal hasil akhir, tapi juga proses, konsistensi, dan kepercayaan orang terhadapmu.
Dengan strategi di atas, kamu bisa mulai bertahap membangun citra diri yang siap diakui dan dipromosikan.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: The New Yorker, Psychehumanus.id