INDOZONE.ID - Pesantren merupakan institusi pendidikan tertua di Indonesia, yang bahkan sudah ada sebelum negara ini merdeka.
Umumnya pemimpin dalam sebuah pesantren disebut sebagai kyai untuk masyarakat Jawa, Buya untuk masyarakat Sumatera ataupun Abah untuk masyarakat Sunda. Adapun murid-murid yang sedang belajar di sebuah pesantren itu dikenal juga dengan sebutan santri.
Dalam beberapa pesantren khususnya di daerah Jawa, praktek feodalisme sepertinya masih berlangsung di institusi tersebut dimana seorang pimpinan pondok adalah raja bagi santrinya ia harus ditaati secara mutlak.
Santri juga dianjurkan untuk memuliakan tidak hanya gurunya saja, tetapi juga keturunan dan sanak saudaranya. Lalu bagaimana bisa praktek feodalisme masih berakar kuat di suatu pesantren.
Baca Juga: Seorang Santriwati di Lumajang Dinikahi Pengasuh Pondok Pesantren Tanpa Seizin Orang Tuanya
Selain menjadi institusi pendidikan, pesantren merupakan tempat untuk membahas intrik politik (instagram/gondilhakim)
Adapun jawabannya tidak terlepas dari sejarah masa lalu sejak berdirinya pesantren di Indonesia, tepatnya pada masa Kesultanan Mataram Islam
Pada saat itu, pemerintahannya bersifat terdesentralisasi dan untuk memudahkan dalam mengatur wilayahnya, Sultan umumnya akan menunjuk orang-orang pilihannya untuk memimpin suatu kadipaten.
Para pemegang jabatan yang dipilih oleh Sultan umumnya merupakan orang yang ahli dalam agama, dimana ia juga diharapkan untuk mengajarkan agama kepada rakyat yang dipimpinnya.
Umumnya para kyai sering dijadikan sebagai pimpinan maupun wakil dari adipati untuk memimpin daerah tersebut. Para kyai juga sering dijadikan oleh konsultan dalam hal perkara agama oleh adipati yang memerintah daerah tersebut.
Baca Juga: Pengembangan Pendidikan di Pondok Pesantren yang Semakin Inovatif
Di daerah yang dikelolanya, para kyai mendirikan pesantren dan dimana ia mengajak masyarakat disana untuk belajar di pesantrennya tersebut tanpa dipungut biaya apapun. Sebagai gantinya, para santri yang mondok di tempat tersebut diharapkan untuk berkhidmat kepada kyainya tersebut tersebut.
Semakin jauh dari ibukota Kesultanan, pengaruh Sultan biasanya semakin memudar yang dimana para kyai tersebut terpaksa untuk mengambil alih administrasi seperti ekonomi, sosial dan sebagainya. Ini menjadi penyebab kekuasaan kyai yang semakin luas sehingga ia dianggap sebagai perwakilan Sultan.
Akibatnya, budaya feodalisme menjadi kuat di pesantren sehingga institusi tersebut tidak hanya sebagai tempat belajar mengajar, akan tetapi pesantren juga menjadi tempat bertukarnya intrik-politik.
Baca Juga: Pengembangan Pendidikan di Pondok Pesantren yang Semakin Inovatif
Sebenarnya feodalisme di pondok pesantren menjadi keuntungan sendiri sehingga ketika ibukota kesultanan jatuh di tangan Belanda, para kyai dapat melanjutkan perlawanan untuk membantu Sultan dalam mengusir para penjajah.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Website NU