Ilustrasi hubungan sosial di Jepang
INDOZONE.ID - Pernahkah kamu bertanya-tanya, "Untuk apa kita hidup?" Sebuah pertanyaan yang sering muncul ketika seseorang merenung tentang makna hidup mereka.
Di Jepang, pertanyaan ini sering dijawab dengan satu kata: ikigai, yang berarti "alasan untuk hidup."
Konsep ini mengacu pada apa yang membuat hidup seseorang terasa berharga, memuaskan, dan bermakna, baik itu dari keluarga, pekerjaan, pasangan, atau pencapaian pribadi.
Di Jepang, ikigai sering kali terkait erat dengan peran sosial. Budaya masyarakat Jepang yang masih sangat menghargai tanggung jawab sosial, terutama dalam keluarga dan pekerjaan, mempengaruhi bagaimana orang menemukan makna hidup mereka.
Survei menunjukkan bahwa banyak wanita Jepang menganggap keluarga dan anak-anak sebagai ikigai mereka, sementara pria lebih sering menemukan ikigai melalui pekerjaan dan karier mereka, di samping peran sebagai kepala keluarga.
Namun, ikigai bukanlah sekadar kewajiban sosial. Ia adalah sebuah makna hidup yang memberi kepuasan dan kebahagiaan mendalam bagi individu.
Bagi banyak orang, ikigai adalah sumber motivasi dan tujuan yang memberikan arah dalam hidup mereka, baik itu melalui peran dalam keluarga atau pencapaian di tempat kerja.
Di tengah perubahan sosial dan ekonomi, muncul perdebatan mengenai apakah ikigai harus tetap berfokus pada peran tradisional, ataukah lebih berorientasi pada pencapaian pribadi dan kebahagiaan individu.
Beberapa pihak berpendapat bahwa menemukan ikigai hanya melalui pekerjaan atau peran tradisional dalam keluarga tidak lagi relevan di zaman modern.
Mereka menekankan bahwa ikigai seharusnya berisi sesuatu yang membawa kebahagiaan sejati, bukan sekadar pemenuhan kewajiban sosial.
Pandangan ini semakin diterima di kalangan generasi muda Jepang, yang mulai mencari ikigai yang lebih fokus pada kebahagiaan pribadi dan tujuan hidup mereka.
Banyak anak muda kini merasa bahwa hidup tidak semata-mata harus berputar di sekitar pekerjaan atau peran sebagai orang tua.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Mathews, G. (1996). The Pursuit Of A Life Worth Living