Busana perempuan di Hindia Belanda yang memadukan kebaya dengan gaya Eropa.
INDOZONE.ID - Busana di Hindia-Belanda mengalami perubahan signifikan akibat pengaruh budaya Indis, terutama dalam pakaian yang dikenakan oleh perempuan.
Kedatangan perempuan Belanda ke Nusantara membawa serta gaya busana khas Eropa, tetapi kondisi iklim tropis yang panas dan lembap membuat mereka mencari alternatif yang lebih nyaman.
Salah satu pilihan yang mereka adopsi adalah kebaya, pakaian tradisional perempuan pribumi yang ringan dan lebih sesuai dengan cuaca.
Adopsi kebaya oleh perempuan Belanda bukan sekadar karena faktor kenyamanan, tetapi juga akibat interaksi dengan perempuan pribumi yang bekerja di rumah mereka.
Baca Juga: Kebaya Janggan: Busana Bersejarah Istri Pangeran Diponegoro yang Sarat Makna
Bahkan, para Nyai, sebutan bagi perempuan pribumi yang menjadi pasangan laki-laki Belanda, juga mengenakan kebaya dengan bawahan sarung, menjadikannya semakin dikenal di kalangan orang Eropa.
Meski demikian, terdapat perbedaan mencolok antara kebaya perempuan pribumi dan kebaya yang dikenakan oleh perempuan Belanda.
Kebaya pribumi umumnya sederhana, berlengan panjang, tipis, serta dihiasi sulaman halus tanpa kancing, digantikan oleh peniti atau bros sebagai pengikat.
Sementara itu, perempuan Belanda memodifikasi kebaya mereka dengan menggunakan kain yang lebih mewah, seperti brokat dan renda, serta sarung batik dengan desain dan warna yang tetap mempertahankan unsur Barat.
Baca Juga: Kebaya Resmi Jadi Warisan Budaya Takbenda UNESCO, Kebanggaan Bersama Asia Tenggara!
Tak hanya perempuan, kaum pria juga mengalami perubahan dalam gaya busana mereka.
Laki-laki pribumi, terutama di Jawa, mulai mengenakan setelan jas berdasi yang dipadukan dengan bawahan kain batik dan penutup kepala, seperti yang lazim ditemukan di Surakarta.
Sebaliknya, laki-laki Belanda justru mengadaptasi pakaian lokal, seperti mengenakan sarung dan baju takwa.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: KRINOK: Jurnal Pendidikan Sejarah & Sejarah FKIP UNJA