Kepala Badan POM RI, Penny K Lukito. (YouTube/Badan POM RI)
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito mengatakan, pihaknya telah bekerja secara baik dalam penanganan kasus gagal ginjal akut (acute kidney injury atau AKI) pada anak di Indonesia.
Pernyataan ini, menanggapi delapan temuan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), salah satunya kelalaian otoritas dalam pengawasan bahan baku obat sirup dan peredarannya.
Adapun kasus gagal ginjal akut yang menyerang anak, dipicu oleh cemaran zat kimia etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) melebihi ambang batas aman dalam obat sirup.
"BPOM sudah melakukan tugasnya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan standar yang berlaku," ucap Penny dalam konferensi pers di Gedung BPOM, Jakarta Pusat, Senin (26/12/2022).
Baca Juga: Tidak Punya Izin Edar, BPOM Tarik Kopi Serbuk Starbucks!
Dalam keterangannya, BPOM menyampaikan, celah-celah pengawasan yang perlu diperbaiki terkait kasus keracunan obat sirup.
Saat ini, BPOM juga sudah melakukan penindakan terhadap perusahaan farmasi yang melakukan pelanggaran yakni, pencabutan izin edar, sertifikat cara pembuatan obat yang baik (CPOB), cara distribusi obat yang baik (CDOB), dan pemusnahan stok produk.
"Kami sudah menyampaikan secara transparan apa saja gap-gap yang ada, yang sudah berproses, dan kita sudah lakukan perbaikan," kata Penny.
Rekomendasi BPKN Tidak Melibatkan BPOM
Dalam pengeluaran temuan dan rekomendasi, pihak BPKN tidak melibatkan BPOM. Padahal menurut Penny, BPOM sudah menjelaskan secara gamblang terkait pemeriksaan kasus gagal ginjal akut anak, pada satu pertemuan.
"Ada tanya jawab terhadap hasil pemeriksaan. Jadi tahapannya itu saya kira, para entitas pemeriksa punya tata cara yang berlaku fair. Jadi, bukan hanya mencari kesalahan, tapi adalah untuk mencari solusi bersama," tuturnya.
Baca Juga: BPOM Cabut Izin Edar 15 Obat Sirop dari 2 Perusahaan Farmasi, Apa Saja?
Lebih jauh Penny menambahkan, cara kerja pemeriksaan BPKN perlu mencontoh beberapa lembaga pemeriksaan lain seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Ombudsman. Dua lembaga itu meminta respons terlebih dahulu sebelum membuat kesimpulan dan rekomendasi.
Penny menyayangkan dalam rekomendasi yang dikeluarkan BKPN yang diserahkan kepada Presiden Joko Widodo, pihak BPOM tidak mendapatkan salinan hasil tersebut.
Padahal, BPOM sudah mengidentifikasi masalah dan melakukan koreksi lintas sektor terkait kasus gagal ginjal akut pada anak.
"Saya tidak tahu apakah (solusi) ada atau tidak di dalam (rekomendasi), tapi saya kira tidak ada dalam rekomendasi tersebut. Jadi, tanyakan legalitas tim pencari faktanya, apakah memang itu menjadi tugas pokok dan fungsi BPKN untuk melakukan pemeriksaan," katanya.
Sebelumnya diberitakan, pada November lalu, Tim Pencari Fakta (TPF) BPKN telah menyelesaikan investigasi kasus gagal ginjal akut, dan menghasilkan 8 temuan, serta 4 rekomendasi.
Baca Juga: Daftar 177 Obat Sirup Aman Dikonsumsi Versi BPOM, Gen Z dan Millenials Harus Tau!
Hasil rekomendasi itu, telah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo untuk ditindaklanjuti. Berikut 8 temuan dari TPF BPKN:
1. Ketidakharmonisan komunikasi dan koordinasi antar instansi di sektor kesehatan dan farmasi dalam penanganan lonjakan kasus GGAPA
2. Ada kelalaian otoritas sektor kefarmasian dalam pengawasan bahan baku obat dan peredaran obat. BPKN menyimpulkan ada kelalaian instansi dalam pengawasan bahan baku obat dan peredaran produk obat
3. Penindakan oleh penegak hukum yang dilakukan kepada industri farmasi tidak transparan. BPKN menilai ada ketidakadilan karena ada korporasi yang sudah jadi tersangka dan belum
4. Tidak ada protokoler khusus penanganan krisis terkait persoalan darurat di sektor kesehatan seperti lonjakan kasus GGAPA
5. Belum ada kompensasi yang diberikan kepada keluarga korban GGAPA dari pihak pemerintah
6. Belum ada pemberian ganti rugi kepada korban GGAPA dari pihak industri farmasi. BPKN menyebut, pihak industri farmasi belum ada tanda-tanda memberikan ganti rugi terhadap korban GGAPA
7. Bahan kimia EG dan DEG merupakan termasuk kategori berbahaya bagi kesehatan
8. Belum dilibatkan instansi lembaga perlindungan konsumen dalam permasalahan sektor kesehatan, karena korbannya konsumen.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: