Penanganan kanker paru identik dengan cara melakukan operasi besar yang cukup berisiko. Belajar dari Jepang, justru pasien di sana tak perlu operasi untuk mengendalikan kanker parunya.
Jepang berhasil menerapkan pendekatan baru dalam pengobatan kanker paru stadium awal yang dinilai lebih minimal risiko tetapi efektif. Salah satunya mengganti operasi besar (lobektomi) menjadi operasi yang lebih kecil, yakni sub-lobar resection.
Prof. Shun-ichi Watanabe, Presiden Japanese Association for Chest Surgery, mengungkapkan bahwa pendekatan ini telah diuji dalam studi berskala nasional bernama JCOG0802. Penelitian tersebut membandingkan efektivitas lobektomi dengan sub-lobar resection pada pasien kanker paru stadium IA.
“Operasi sub-lobar, baik segmentektomi maupun wedge resection, ternyata menunjukkan hasil yang lebih baik dibanding lobektomi dalam hal kelangsungan hidup pasien,” kata Prof. Shun-ichi Watanabe.
Baca Juga: Penelitian: Polusi Udara Picu Kanker Paru-Paru pada Non-Perokok di Indonesia
Menurutnya, sub-lobar resection kini menjadi pilihan utama untuk pasien dengan kanker paru stadium awal yang tumornya berukuran 2 cm atau kurang. Selain hasil yang efektif, pendekatan ini juga lebih menguntungkan pasien dari sisi pemulihan dan kualitas hidup pasca operasi.
“Dulu, kita percaya lobektomi adalah satu-satunya pilihan terbaik, tapi data terbaru menunjukkan kita bisa memberikan hasil yang sama atau bahkan lebih baik dengan pembedahan yang lebih konservatif,” tegas Watanabe.
Studi JCOG0802 yang berlangsung selama lebih dari 10 tahun ini melibatkan 1106 pasien. Hasilnya, angka harapan hidup lima tahun pasien yang menjalani sub-lobar resection mencapai 94,3 persen, lebih tinggi dari lobektomi yang berada di angka 91,1 persen.
Penurunan komplikasi juga menjadi alasan pendekatan ini makin dilirik. Pasien lebih cepat pulih dan memiliki fungsi paru yang lebih baik setelah operasi sub-lobar.
Inovasi ini menjadi tonggak penting dalam manajemen kanker paru di Jepang dan menjadi rujukan bagi negara lain yang ingin mengadopsi pendekatan serupa. Hal ini juga membuka peluang bahwa operasi besar bukan lagi satu-satunya jalan dalam pengobatan kanker paru stadium awal.
Dengan pendekatan yang lebih personal dan minimal invasif, pengobatan kanker paru kini lebih ramah pasien tanpa mengorbankan efektivitas.
Baca Juga: Penanganan Kanker Paru di Indonesia Sudah Lengkap, Ada Alat CT Scan Low Dose
Dokter Spepsialis Paru Subspesialis Onkologi Toraks dari MRCCC Siloam Hospitals, Sita Laksmi Andarini, Ph.D, SpP (K), menjelaskan, deteksi dini kanker paru sangat penting untuk meningkatkan peluang kesembuhan. Sayangnya, masih banyak orang yang belum mengetahui bahwa skrining bisa dilakukan sebelum muncul gejala apa pun seperti batuk atau sesak napas.
“Di Indonesia, kanker paru pada perempuan ditemukan rata-rata pada usia 58 tahun, sedangkan di luar negeri sekitar 68 tahun. Itu berarti 10 tahun lebih muda," kata dr. Sita.
Ada banyak kelompok orang yang masuk kategori berisiko tinggi dan perlu melakukan skrining. Antara lain:
- Usia di atas 45 tahun dengan riwayat merokok aktif atau pasif
- Pernah bekerja di lingkungan dengan paparan bahan kimia
- Punya riwayat fibrosis paru atau tuberkulosis
- Usia di atas 40 tahun dan memiliki riwayat keluarga dengan kanker
"Walaupun kanker paru bukan penyakit keturunan, tapi kerentanan atau risiko (vulnerability) bisa lebih tinggi jika ada anggota keluarga yang pernah mengidap kanker," ujarnya
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Liputan Langsung