INDOZONE.ID - Awal tahun ini mungkin menjadi titik balik kedua putaran roda kehidupan Mira Hayati. Sebab setelah lebih dari 2 bulan ditetapkan sebagai tersangka, bos skincare asal Makassar itu akhirnya ditetapkan sebagai tahanan Polda Sulawesi Selatan pada 20 Januari 2025.
Saat dirilis polisi, penampilan Mira tampak jauh berbeda dari yang selama ini ia tunjukkan di sosial media. Memakai baju tahanan berwarna oranye, wajah Mira tampak kumal tanpa hiasan, dengan senyum percaya diri yang kerap ia tunjukkan seakan menghilang.
Siapa Mira Hayati?
Mira Hayati adalah pemilik usaha kosmetik MH Miracle Whitening Skin. Perempuan kelahiran 20 Januari 1995 itu dianggap sebagai pengusaha moncer yang tajir berkat kegigihan dan kerja kerasnya.
Mira mengawali bisnisnya ini pada 2020, saat dunia dilanda Pandemi Covid-19. Strategi pemasaran digital yang ia terapkan berhasil membuat MH Skincare dilirik banyak orang. Berkat kerja kerasnya, Mira berhasil melipatgandakan penghasilan dari hanya satu juta, menjadi miliaran rupiah setiap bulan.
Baca Juga: Mengulik Bahaya Kosmetik Mengandung Merkuri, Ladies Jangan Tergoda Slogan Cepat Putih!
Lonjakan kekayaan ini membuat Mira leluasa mengoleksi emas hingga dijukuki Si Ratu Emas. Ia kerap tampil dengan berbagai perhiasan emas berukuran besar dan mencolok di tubuhnya. Ia juga sempat menjadi sorotan saat memamerkan tas emas seberat 531,25 gram dengan desain tas Lady Dior seharga lebih dari setengah miliar. Hal ini membuka pergaulannya hingga kerap terlihat bersama sejumlah selebriti papan atas Tanah Air.
Kesuksesan ini tak lepas dari kerasnya hidup yang menempanya menjadi sosok pekerja keras. Sejak muda, ibu empat anak ini sudah harus berjuang membantu kehidupan keluarga. Saat duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar, Mira sudah manggung sebagai penyanyi dangdut, menemani ayahnya yang pemain organ tunggal.
Ia masih meneruskan pekerjaannya sebagai biduan setelah pernikahan pertamanya di usia 16 tahun. Baru pada 2020, dia memutuskan untuk menyudahi kariernya sebagai penyanyi dan mencoba berbagai peruntungan lain, mulai dari berjualan bensin, berjualan kosmetik keliling, hingga membuka salon. Setelah menikah kedua kalinya di tahun itu, barulah ia memulai bisnis skincare.
Namun setelah ditetapkan sebagai tersangka pada November 2024 lalu, Mira berpotensi kembali ke titik awal kariernya. Mira yang merupakan Direktur Utama PT Agus Mira Mandiri Utama, diduga memproduksi dan mengedarkan kosmetik Lightening Skin Mira Hayati Cosmetic dan MH Cosmetic Night Cream Glowing, yang berdasarkan hasil uji BPOM Makassar, dan positif mengandung merkuri/Raksa/Hg.
Ia dijerat bersama dua tersangka lain, yaitu Agus Salim (AS) owner brand Ratu Glow dan Raja Glow, produsen obat pelangsing RG Raja Glow My Body Slim yang mengandung Bisakodil (positif), bahan baku obat yang seharusnya tidak terkandung dalam ramuan obat tradisional/jamu, serta Mustadir Dg Sila (MS), Direktur CV. Fenny Frans yang memproduksi kosmetik FF Day Cream Glowing dan FF Night Cream Glowing yang mengandung merkuri.
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Selatan telah menerima pelimpahan berkas kasus ini dari penyidik pada Senin, 3 Februari 2025. Jaksa menjadwalkan menyerahkan penanganan kasusnya ke pengadilan pada minggu ini untuk segera disidangkan.
"Tim JPU akan bekerja profesional, integritas, dan akuntabel, serta melaksanakan proses penuntutan sesuai ketentuan peraturan perundang-unadngan dengan prinsip zero KKN," kata Kepala Kajati Sulsel, Agus Salim, Senin (3/2/2025).
Puncak Gunung Es Pelanggaran di Industri Kosmetik
Kasus MH Skincare hanyalah salah satu dari banyak kasus peredaran kosmetik berbahan berbahaya yang beredar di Indonesia. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) selaku regulator, mengonfirmasi hal ini.
Dalam uji sampling produk kosmetik periode November 2023 hingga Oktober 2024, BPOM menemukan 55 jenis produk yang beredar di pasaran, baik offline maupun online, mengandung bahan berbahaya. Jumlah tersebut terdiri dari 35 produk kosmetik yang dibuat berdasarkan kontrak produksi, 6 produk kosmetik yang diproduksi dan diedarkan oleh industri kosmetik, serta 14 produk kosmetik impor.
Dari hasil pengujian BPOM, produk-produk tersebut mengandung bahan berbahaya seperti merkuri, asam retinoat, hidrokinon, pewarna merah K3, pewarna merah K10, pewarna acid orange 7, dan timbal.
Merkuri, Racun Pemikat Kulit Glowing yang Instan
Merkuri atau raksa, menjadi salah satu primadona bahan berbahaya yang kerap digunakan dalam produk kecantikan. Menurut dokter ahli kecantikan, Eklendro Senduk, ini karena kemampuan merkuri sangat baik untuk menghambat melanin atau zat warna gelap dalam kulit, sehingga memberikan efek pemutih instan dengan harga yang murah.
"Merkuri memang efeknya sangat instan, 3 hari aja udah kelihatan putih, padahal sebenarnya regenerasi kulit kita tuh butuh waktu 2 minggu ke atas," kata Ekles, sapaan Eklendro Senduk yang kerap memberi edukasi soal skincare berbahaya di akun media sosial Instagram dan TikTok @dr_ekles.
Dia menjelaskan, penggunaan merkuri pada produk kosmetik dapat memberikan efek jangka pendek hingga jangka panjang.
Dampak Jangka Pendek Merkuri
Iritasi Kulit: dapat menyebabkan kemerahan, menimbulkan rasa gatal atau terbakar, hingga pengelupasan kulit
Perubahan Warna Kulit: Kulit menjadi lebih gelap karena terjadi hiperpigmentasi, atau hipopigmentasi yang membuat kulit lebih terang namun tidak merata.
Jerawat: Penggunaan skincare dengan merkuri dapat memicu timbulnya jerawat, atau bahkan memperparah kondisinya.
Dampak Jangka Panjang Merkuri
Kerusakan Ginjal: Merkuri dapat mengakibatkan kerusakan ginjal, bahkan menimbulkan risiko gagal ginjal.
Kerusakan Saraf: Merkuri dapat merusak sistem saraf, menyebabkan tremor, gangguan koordinasi, dan masalah kejiwaan.
Kanker: Ada dugaan bahwa merkuri dapat meningkatkan risiko kanker.
Mengganggu Janin: Penggunaan merkuri dapat mengganggu perkembangan janin selama kehamilan, hingga menyebabkan cacat lahir pada bayi.
Ekles mengingatkan, produk kosmetik atau skincare yang mengandung merkuri atau bahan berbahaya lainnya tak bisa disebut over-claim karena menjanjikan proses pemutihan kulit yang instan. Sebab penggunaan merkuri memang menjadikan proses pemutihan kulit menjadi lebih cepat, namun meninggalkan dampak yang berbahaya bagi kesehatan penggunanya.
"Kalo sudah seperti ini (mengandung merkuri) namanya bukan over-claim lagi, tapi berbahaya. Kalau over-claim, bisa dianggap tidak berbahaya, contohnya ceramide dibilang 5 persen tapi ternyata 0,001, berarti kayak air aja nggak ada efeknya. Kalau ini yang berbahaya, malah lebih berbahaya dari over-claim," kata Ekles.
Glowing Instan Membawa Petaka
Vita Paulino, seorang ibu rumah tangga di Surabaya, pernah merasakan dampak penggunaan merkuri karena tergiur memiliki kulit wajah yang lebih terang.
Tak cuma satu produk, Vita memakai beberapa merek mulai dari yang satuan hingga paketan pada 2011 hingga 2017. Saat itu, wajah Vita memang tampak lebih putih. Namun saat tak sempat memakainya, dia merasakan ketidaknyamanan, mulai timbul beruntus, muka memerah, hingga timbul jerawat. Hanya saja, saat itu Vita tak tahu kalau itu merupakan efek negatif dari skincare yang ia gunakan karena mengandung merkuri yang berbahaya.
Meski begitu, Vita berhenti menggunakan skincare tersebut atas rekomendasi dokter saat melakukan program kehamilan anak keduanya. Namun ketika melakukan pemeriksaan USG saat kandungannya berusia 18 minggu, diketahui janin Vita mengalami cacat organ hingga akhirnya ia mengalami keguguran. Menurut dokter, ini merupakan salah satu dampak dari penggunaan kosmetik dengan kandungan berbahaya yang dipakai Vita sebelumnya.
Hal yang sama dialami Celline. Perempuan 25 tahun asal Lumajang itu juga mengalami keguguran akibat menggunakan skincare dengan kandungan merkuri.
"Aku pake dari kelas 1 SMP, karena kan kulitku gelap, jadi temen-temen pada ngebully, ngatain item," kata Celline.
Meski sudah mengetahui efek buruk kosmetik abal-abal mengandung merkuri, ketidaktahuan membuat Vita kembali jatuh di lubang yang sama. Kali ini, wajah Vita mengalami ochronosis, kondisi saat kulit berubah gelap kebiruan atau keabu-abuan akibat penggunaan merkuri jangka panjang.
"Saya hampir gila karena itu. Dikatain wajahnya jelek, kena azab, sama orang-orang," kata Vita.
Upaya Menertibkan Pemilik Skincare Abal-abal
Kepala BPOM Taruna Ikrar mengatakan, pihaknya bersikap tegas terhadap kosmetik yang mengandung bahan berbahaya.
"BPOM melakukan tindak tegas terhadap kosmetik dengan bahan berbahaya, dengan mencabut izin edar dan melakukan penghentian kegiatan produksi, peredaran, dan importasi," kata Taruna Ikrar.
Upaya penertiban tak hanya dilakukan di unit-unit distribusi offline, tetapi juga pada penjualan online. Menurut Taruna, BPOM juga melakukan patroli siber berkesinambungan untuk memantau peredaran kosmetik berbahaya di berbagai platform dunia maya.
Pada periode November 2023 hingga Oktober 2024, ada sebanyak 53.688 tautan kosmetik ilegal yang diajukan BPOM ke Kementerian Komunikasi dan Digital untuk diblokir atau takedown.
Upaya ini dilakukan untuk melindungi kesehatan dan keselamatan masyarakat dari produk-produk kosmetik mengandung bahan berbahaya, yang bahkan dapat mengancam nyawa. Selain itu, juga sebagai upaya perlindungan terhadap industri kosmetik, agar tak merusak kepercayaan konsumen.
Apalagi, mengutip data Kementerian Perekonomian, industri kosmetik di Indonesia tengah tumbuh pesat dengan peningkatan 21,9%, dari 913 perusahaan di tahun 2022 menjadi 1.010 perusahaan pada pertengahan 2023.
Tak hanya glowing di dalam negeri, industri kosmetik nasional juga mampu menembus pasar ekspor. Pada periode Januari-November 2023 nilai ekspor untuk produk kosmetik, wewangian, dan essential oils tercatat senilai US$770,8 juta. Tak hanya itu, industri ini juga mampu menyerap sekitar 59.886 tenaga kerja pada tahun 2022.
Peningkatan penjualan produk personal care dan kosmetik memang tak terlepas dari masifnya perkembangan ecommerce di Indonesia. Sejak tahun 2018 hingga 2022, personal care dan kosmetik merupakan top 3 penjualan di market place, dengan nilai transaksi mencapai Rp13.287,4 triliun dan volume transaksi 145,44 juta.
Platform data dan intelijen bisnis global, Statista, memproyeksi pendapatan di pasar kosmetik Indonesia akan senilai US$2,06 miliar pada 2025 dan diyakini akan tumbuh 4,22% hingga 2029.
Baca Juga: Profil Mira Hayati, Ratu Emas Makassar yang Jadi Tersangka Kasus Skincare Merkuri
Peneliti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Niti Emiliana menilai, kondisi ini memberi tantangan pada BPOM agar industri kosmetik Indonesia tetap bersinar dan kulit konsumen tetap glowing tanpa efek samping berbahaya.
BPOM telah memiliki sejumlah perangkat hukum terkait hal ini. Ada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1175/Menkes/Per/XII/2010 tentang Notifikasi Kosmetik, serta Peraturan BPOM Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pengawasan Produksi dan Peredaran Kosmetika.
"Pemerintah (BPOM) memang bertanggung jawab terhadap pengawasan kosmetik. Dari regulasi sebenarnya sudah ada dan sudah jelas, yang perlu ditingkatkan adalah implementasi pelaksanaan pengawasan pre market dan post market," kata Niti.
Niti menekankan pentingnya peningkatan pengawasan post market, yaitu setelah produk beredar di pasar. Menurut Taruna, BPOM telah melakukan hal ini dengan menggandeng berbagai pihak. Sejauh ini, sudah ada sebanyak 947 produk kosmetik yang dilarang edar oleh BPOM karena terbukti mengandung bahan berbahaya.
Hanya saja, besarnya industri kosmetik Tanah Air membuat banyak pengusaha nakal yang tetap bandel menggunakan bahan berbahaya seperti merkuri dalam produknya.
Niti menyebut, kadang pengusaha memberikan sampel produk yang berbeda saat proses pengajuan perizinan di BPOM dengan produk yang dijual. Ketika sudah mendapat izin edar BPOM, pelaku usaha mengganti atau menambahkan kandungan merkuri ke dalam produk tanpa sepengetahuan dan izin dari BPOM.
"Maka, selain dari pengawasan pre market, pengawasan post market juga harus diperketat," kata Niti.
Ekles yang juga pemilik klinik kecantikan dan brand skincare drEkle's, mengamini hal ini. Selain itu, pemilik brand juga terkadang abai terhadap produknya karena proses produksi diserahkan pada pihak ketiga.
"Jadi ada dua yang harus diselidiki, apakah owner-nya yang nakal atau pabriknya. Saya sarankan ke pemilik-pemilik skincare, kita sebagai pemilik skincare, even though bukan dokter, kita harus tahu dong apa isi-isi skincare kita," kata Ekles.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Liputan