INDOZONE.ID - Pencegahan bunuh diri dapat dilakukan dengan intervensi sosial melalui tindakan masyarakat, sebagai peran penting dalam menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan suportif.
Ini akan memberikan rasa aman kepada semua manusia tanpa harus menyepelekan setiap kondisi yang dialaminya, sehingga memberikan rasa keterhubungan dan rasa dihargai.
Peran keluarga dan komunitas sangat penting sebagai upaya pencegahan bunuh diri. Keluarga yang kuat dengan komunikasi baik serta kepedulian baik dapat mencegah terjadinya isolasi sosial bagi mahasiswa.
Komunitas atau teman sebaya menjadi cara kedua setelah keluarga, karena teman sebaya harus memberikan dorongan kepedulian dan menyediakan ruang untuk berinteraksi saling bertukar kondisi yang sedang dialami oleh setiap mahasiswa, agar mengarah terhadap tindakan positif.
Perlu keberanian untuk bicara tentang kondisi yang sedang dialami, tanpa harus menghakimi setiap kondisinya.
Ruang kontemplasi menjadi penguat perasaan seseorang untuk mengingatkan tentang rasa sabar, keikhlasan, dan kesadaran adanya rasa cinta yang melebihi manusia.
Bunuh diri dijelaskan sebagai mati dengan cara disengaja. Pandangan menurut aliran human behavior, terdapat satu makna dalam tindakan bunuh diri yakni suicide.
Secara etimologis kata “suicide“, berasal dari kata Sui yang artinya diri atau self, dan Caedera yaitu membunuh.
Jika diartikan, bunuh diri menjadi anggapan sebagai bentuk pelarian dari situasi dunia nyata dengan tujuan kembali ke alam lain dalam keadaan nyaman, damai, dan tentram.
Peristiwa bunuh diri menjadi salah satu permasalahan gangguan masyarakat dengan jumlah kasus terbanyak ke-4.
Dilansir dari web resmi Pusiknas.polri.go.id, di tahun 2024 tepatnya periode Januari-19 Agustus, terdapat 852 orang yang nekat melakukan tindakan bunuh diri.
Di antara jumlah tersebut, terdapat tindakan bunuh diri yang terjadi di kalangan akademisi dan mahasiswa.
Seperti di Surabaya, Jawa Timur, mahasiswa ditemukan meninggal akibat bunuh diri dengan cara melompat dari Gedung Universitas Petra Surabaya pada Selasa ( 1/10/2024).
Di Kota Semarang, Jawa Tengah, mahasiswa Universitas Negeri Semarang ditemukan meninggal di Indekos akibat bunuh diri pada hari Kamis ( 3/10/24).
Selain itu, peristiwa bunuh diri juga dialami oleh mahasiswa program kedokteran spesialis di Universitas Diponegoro yang dilakukannya di Indekos pada Senin ( 12/8/2024).
Kasus bunuh diri juga terjadi di beberapa hari lalu, tepatnya di Universitas Tarumanegara pada hari Jum’at (4/10/2024).
Peristiwa bunuh diri yang terjadi di lingkungan mahasiswa disebabkan karena depresi yang dilatarbelakangi oleh kejadian beragam seperti, bullying, tekanan akademisi, perekonomian, dan permasalahan di lingkungan keluarganya.
Baca Juga: Maraknya Kasus Bunuh Diri Mahasiswa Karena Kesehatan Mental: Fenomena yang Perlu Ditangani Serius
Dalam perspektif sosiologis, peristiwa bunuh diri sebagai fenomena sosial kompleks, tidak hanya disebabkan oleh kesehatan mental, melainkan hasil dari tekanan sosial, ekonomi, dan budaya.
Maka perlu adanya pemahaman lebih luas terkait peristiwa bunuh diri di kalangan mahasiswa, mengapa hal tersebut akhir-akhir ini sering terjadi?
Bunuh Diri sebagai Peristiwa Kompleks
Bunuh diri bukan hanya masalah psikologis, tetapi merupakan fenomena kompleks yang melibatkan adanya proses interaksi sosial antar faktor individu dengan faktor lingkungan sosial.
Seseorang memiliki kendali penuh terhadap kondisi mentalnya, tetapi usaha dalam mengendalikan mental tidak lepas dengan kondisi sosial di sekitarnya.
Semakin lingkungan sosial memberikan batasan atau tekanan dengan aturan yang sangat mengikat, maka potensi pengendalian mental akan semakin sulit dilakukan oleh individu karena ketidakmampuannya menolak keterikatan tersebut.
Ketiadaan pengaturan dan keinginan seseorang juga menjadi potensi munculnya peristiwa bunuh diri, hal ini berbeda dengan batasan aturan yang mengikat.
Kekacauan etika moralitas menyebabkan individu menjadi frustasi kebingungan dalam menentukan arah tujuannya, sehingga perubahan-perubahan dinamis bisa menjadi landasan munculnya ketidakharmonisan antar individu.
Kompleksitas fenomena ini terlihat dari banyaknya kasus dimana seseorang dengan masalah kesehatan mental, akhirnya melakukan bunuh diri yang disebabkan oleh ketidakmampuan menghadapi tekanan sosial, perubahan lingkungan sosial, dan ketidakmampuan mengelola moralitas diri.
Stigma sosial terhadap bunuh diri juga memperburuk situasi. Orang-orang merasa malu atau takut untuk meminta bantuan kepada orang lain, karena adanya labeling sosial takut merepotkan, atau takut dicap lemah dalam mengatasi masalah.
Stigma ini memperkuat isolasi dan kerentanan individu akan semakin merasa dirinya tertekan hingga putus asa dalam menjalani hidupnya.
Bunuh Diri dalam Segi Sosiologis
Bunuh diri dikaji pertama kali oleh sosiolog Emile Durkheim, yang menjelaskan terdapat peraturan dan integrasi yang terlalu banyak atau terlalu kurang, akan mengakibatkan ketidaksehatan terhadap kondisi sosiologis masyarakat.
Hal itu dilihat dari segi fungsionalis mengenai landasan teori Emile Durkheim yakni kohesi sosial dan integrasi sosial.
Kohesi sosial adalah ikatan atau ketergantungan individu terhadap kelompok atau masyarakat dimana mereka berada.
Mengutip dari buku Teori Sosiologi karya George Ritzer, menjelaskan masyarakat yang ditandai oleh ketidak tepatan peraturan atau integritas akan menjadi penyebab tingkat bunuh diri yang tinggi.
Ikatan yang terlalu kuat terhadap kolektivitas bisa menyebabkan bunuh diri.
Contoh di dalam kasus bunuh diri di Universitas Diponegoro pada hari senin ( 12/8/2024).
Mahasiswa program kedokteran spesialis meninggal bunuh diri diduga karena adanya perundungan di dalam ruang lingkup pendidikan tersebut.
Dugaan itu bisa melandasi terjadinya bunuh diri karena terlalu ketatnya kohesi sosial antar individu dan adanya aturan kelompok yang ketat, sehingga menimbulkan hubungan sosial yang kuat.
Hubungan sosial yang terlalu kuat akan mengikat individu tertentu dengan suatu kelompok tertentu.
Jadi di dalam perundungan pasti ada individu atau kelompok yang memiliki daya kekuasaan lebih tinggi di kalangan kelompok tertentu.
Selain itu, juga pasti ada individu yang merasa dikendalikan sepenuhnya oleh lingkungan atau kelompok sosial tersebut.
Apabila individu tidak mengikuti aturan maka akan ada tindakan atas konsekuensinya, sehingga menimbulkan tekanan bagi individu.
Bunuh diri akibat ketatnya hubungan sosial dan kohesi sosial disebut dalam teori sosiologi yakni bunuh diri altruistik.
Bunuh diri diklasifikasikan oleh sosiologi melalui teori bunuh diri Emile Durkheim, mengutip dari buku Teori Sosiologi Modern ( Edisi Revisi) yang ditulis oleh Bernard Raho.
Durkheim memberikan 4 jenis bunuh diri antara lain, bunuh diri egoistik, yaitu tindakan bunuh diri yang dilakukan karena menganggap kepentingan pribadinya lebih penting daripada kepentingan sosialnya.
Kemudian bunuh diri altruistik, yaitu bunuh diri akibat hubungan sosial yang terlalu kuat, sehingga anggota dipaksa merasakan keterikatan satu sama lain yang menyebabkan individu merasa dikendalikan secara penuh.
Selain itu, ada juga bunuh diri fatalistik, yaitu bunuh diri akibat individu merasakan terlalu diatur atau terkekang, sehingga keinginannya terhalangi.
Terakhir adalah bunuh diri anomik, yaitu bunuh diri akibat perubahan sosial, maupun ekonomi yang mengakibatkan kekacauan etika moralitas yang tidak mampu memberikan arah sosial.
Jenis anomali dan altruistik dalam teori bunuh diri Emile Durkheim sering terjadi dikalangan mahasiswa, karena bunuh diri anomik berkaitan dengan perubahan sosial baik di dalam lingkungan keluarga atau pola pertemanan.
Perubahan tersebut bisa saja didasari pada perubahan ekonomi atau faktor kemiskinan. Faktor tersebut akan berkorelasi dengan ketahanan pengendalian kecerdasan emosional.
Sedangkan pada bunuh diri altruistik, berkaitan dengan peristiwa bullying atau perundungan yang masih ada di ruang lingkup Mahasiswa.
Bunuh Diri di Kalangan Mahasiswa
Stres dan kecemasan terhadap kondisi persaingan di kampus adalah salah satu faktor yang dapat menyebabkan depresi hingga berujung pada tindakan bunuh diri.
Depresi diikuti oleh menurunnya kepercayaan diri, mulai dari merasa malu, membenci diri sendiri, tidak bernilai dan meyakini bahwa semua orang akan lebih baik tanpanya.
Baca Juga: Semakin Banyak dan Meningkat Kasus Bunuh Diri di Indonesia, Apa yang Terjadi?
Merasa tidak memiliki harapan untuk masa depan karena meyakini suatu kondisi yang dialami sekarang tidak akan pernah menjadi lebih baik.
Bunuh diri dikalangan mahasiswa dilatarbelakangi dengan permasalahan-permasalahan yang tidak hanya perkara akademik, melainkan permasalahan lain seperti, ekonomi, kesehatan, pertemanan, perundungan, keluarga, dan percintaan.
Permasalahan tersebut melandasi mahasiswa untuk berkeinginan melakukan tindakan bunuh diri.
Mengutip dari Hasil Penelitian Ilmu Psikologi dan Kesehatan yang dilakukan di awal tahun 2024, dijelaskan bahwa dari sebanyak 101 responden berusia 18-24 tahun, terdapat 68,97% atau setara 70% responden mahasiswa memiliki keinginan untuk melakukan bunuh diri.
Kasus-kasus bunuh diri yang terjadi dikalangan mahasiswa karena adanya gangguan kecemasan.
Gangguan kecemasan digambarkan sebagai suatu kondisi manusia mengalami kesulitan mengendalikan pikiran, ucapan, dan perilakunya.
Hal ini menciptakan ketidak sesuaian dengan aspek kehidupan, sehingga menimbulkan beban mental yang berat.
Faktor yang menyebabkan bunuh diri di kalangan mahasiswa antara lain faktor akademis, faktor disfungsional keluarga, faktor kesehatan, dan faktor tekanan kohesi sosial.
Upaya Pencegahan Bunuh Diri dalam Perspektif Sosiologis
Pencegahan bunuh diri dapat dilakukan dengan intervensi sosial melalui tindakan masyarakat.
Ini berperan penting dalam menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan suportif, memberikan rasa aman kepada semua manusia tanpa harus menyepelekan setiap kondisi yang dialaminya.
Hal itu akan memberikan rasa keterhubungan dan rasa dihargai.
Peran keluarga dan komunitas sangat penting. Keluarga yang kuat dengan komunikasi baik serta kepedulian baik, dapat mencegah terjadinya isolasi sosial bagi mahasiswa.
Komunitas atau teman sebaya menjadi cara kedua setelah keluarga. Ini karena teman sebaya harus memberikan dorongan kepedulian dan menyediakan ruang untuk berinteraksi.
Selain itu, juga untuk saling bertukar kondisi yang sedang dialami oleh setiap mahasiswa, agar mengarah terhadap tindakan positif.
Perlunya keberanian untuk bicara tentang kondisi yang sedang dialami, tanpa harus menghakimi setiap kondisinya.
Ruang kontemplasi menjadi penguat perasaan seseorang untuk mengingatkan tentang rasa sabar, keikhlasan, dan kesadaran adanya rasa cinta yang melebihi manusia.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Pusiknas.polri.go.id