INDOZONE.ID - Bagi kebanyakan orang, depresi adalah tantangan yang perlu diatasi melalui terapi, pengobatan, dan perubahan gaya hidup.
Tetapi, bagaimana jika upaya pengobatan tersebut tidak memberikan hasil yang diharapkan?
Bagi hampir separuh individu yang didiagnosis dengan gangguan depresi mayor (MDD), ini bukan sekadar kemungkinan, melainkan bagian dari realitas yang mereka hadapi setiap hari.
Sebuah penelitian inovatif yang dipublikasikan dalam British Journal of Psychiatry mengungkapkan tentang depresi yang resistan terhadap pengobatan (TRD), suatu kondisi yang mempengaruhi 48% penderita gangguan depresi mayor (MDD).
Baca Juga: Sayangi Dirimu! Pahami Tanda-tanda Depresi yang Mungkin Sering Kamu Abaikan
TRD bukan sekadar rasa sedih yang berkepanjangan. Kondisi ini dapat mengganggu pekerjaan, merusak kesehatan fisik, dan membuat pasien serta dokter merasa putus asa.
Frustasi Karena 'Mencoba Segalanya'
Supaya depresi bisa digolongkan sebagai penyakit yang resistan terhadap pengobatan, seseorang harus sudah mencoba setidaknya dua antidepresan berbeda dengan dosis yang tepat tanpa hasil.
Akan tetapi, bagi banyak orang, jumlah obat yang dicoba jauh lebih tinggi.
Penelitian menunjukkan antidepresan tidak terlalu efektif dalam mengobati depresi, terutama pada orang dengan gejala ringan hingga sedang.
Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa pasien dengan TRD cenderung lebih sering mengalami depresi berulang, kecemasan, perilaku menyakiti diri sendiri, dan bahkan risiko kematian dini.
Mereka meninggal lima tahun lebih cepat dibandingkan dengan penderita depresi yang responsif terhadap pengobatan.
Lebih dari Sekadar Kesehatan Mental: Dampak Fisik TRD
Depresi kerap kali dipandang hanya sebagai masalah kesehatan mental, padahal kenyataannya jauh lebih rumit.
Penelitian menunjukkan bahwa penderita TRD memiliki risiko lebih tinggi terhadap penyakit jantung, diabetes, gangguan pencernaan, dan masalah pernapasan.
Temuan ini menyoroti kuatnya keterkaitan antara kesehatan mental dan fisik, sesuatu yang masih belum sepenuhnya teratasi dalam banyak sistem layanan kesehatan.
Pekerjaan, Keuangan dan Biaya Sosial
Penderita TRD tidak hanya mempengaruhi kesejahteraan pribadi, namun juga karier dan stabilitas keuangan.
Tingkat ketidakaktifan kerja pada pasien TRD sekitar 10% lebih tinggi dibandingkan dengan penderita depresi biasa, yang membuat mereka lebih sulit untuk mempertahankan pekerjaan dan kemandirian finansial.
Dampak sosial dari depresi yang tidak tertangani atau tidak diobati dengan efektif tidak hanya mencakup biaya perawatan kesehatan, tetapi juga hilangnya produktivitas dan potensi manusia.
Sistem Layanan Kesehatan Tidak Siap Menghadapi TRD
Salah satu temuan paling mengkhawatirkan dari penelitian ini adalah kurangnya terminologi yang konsisten dan jalur pengobatan tertata untuk TRD.
Dokter juga sering memakai istilah seperti "depresi kronis" atau "depresi berulang" secara bergantian, sehingga pendekatan pengobatan menjadi tidak konsisten dan tidak jelas.
Para peneliti menemukan bukti pertama bahwa bukan stres jangka pendek, melainkan stres kronis dan tak terduga dalam kehidupan pribadi dan profesional yang memicu perubahan pada fungsi neuron AgRP, yang dapat berkontribusi pada depresi.
Walaupun kasusnya cenderung lebih kompleks, pasien TRD justru lebih jarang dirujuk ke layanan kesehatan mental berbasis komunitas.
Sebaliknya, mereka lebih sering mendapat perawatan khusus atau rawat inap, yang mencerminkan pendekatan sistem yang lebih reaktif daripada proaktif dalam menangani depresi yang resistan terhadap pengobatan.
Apakah Ada Harapan?
Bagi mereka yang menghadapi TRD, proses pengobatan sering kali terasa seperti terjebak dalam labirin tanpa jalan keluar.
Banyak pasien menggambarkan pengalaman mereka sebagai proses "coba-coba" yang penuh ketidakpastian.
Baca Juga: Genetik Depresi Bisa Tingkatkan Risiko Penyakit Jantung pada Wanita, Ini Penjelasannya!
Tetapi, penelitian ini juga menawarkan panduan untuk perubahan. Baik pasien maupun dokter merekomendasikan:
- Pedoman dan terminologi yang lebih jelas untuk TRD.
- Perawatan psikologis yang lebih beragam di luar terapi perilaku kognitif (CBT) tradisional.
- Akses yang lebih baik ke layanan khusus.
- Perawatan jangka panjang yang bertitik pada pasien dengan penyedia layanan kesehatan yang konsisten.
Yang paling diinginkan oleh pasien TRD adalah didengar. Mengakui perjuangan mereka dan memahami TRD sebagai kondisi yang unik dan memerlukan penanganan khusus merupakan langkah awal yang sangat penting.
Penelitian ini menggugat pendekatan tradisional dalam menangani depresi.
Alih-alih menganggap kegagalan pengobatan sebagai kelemahan individu, TRD perlu diakui sebagai kondisi medis yang unik dan kompleks yang memerlukan penanganan khusus.
Bagi jutaan orang yang berjuang di seluruh dunia, perubahan harus terjadi sekarang.
Kisah, frustrasi, dan ketahanan mereka menuntut sistem perawatan kesehatan yang responsif dan mampu memberikan solusi yang efektif.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Hindustan Times