Oleh: Ulil Abshar Abdalla
Ia yang rebah, di pangkuan perawan suci, bangkit setelah tiga hari, melawan mati
Ia yang lemah, menghidupkan harapan yang nyaris punah
Ia yang maha lemah, jasadnya menanggungkan derita kita
Ia yang maha lemah, deritanya menaklukkan raja-raja dunia
Ia yang jatuh cinta pada pagi, setelah dirajam nyeri
Ia yang tengadah ke langit suci, terbalut kain Merah Kirmizi: Cintailah aku!
Mereka bertengkar tentang siapa yang mati di palang kayu
Aku tak tertarik pada debat ahli teologi
Darah yang mengucur itu lebih menyentuhku
Saat aku jumawa dengan imanku, tubuh nyeri yang tergeletak di kayu itu, terus mengingatkanku: Bahkan Ia pun menderita, bersama yang nista
Muhammadku, Yesusmu, Krisnamu, Buddhamu, Konfuciusmu – mereka semua guru-guruku, yang mengajarku tentang keluasan dunia, dan cinta
Penyakitmu, wahai kaum beriman:
Kalian mudah puas diri, pongah, jumawa, bagai burung merak
Kalian gemar menghakimi!
Tubuh yang mengucur darah di kayu itu, bukan burung merak
Ia mengajar kita, tentang cinta, untuk mereka yang disesatkan dan dinista
Penderitaan kadang mengajarmu tentang iman yang rendah hati
Huruf-huruf dalam kitab suci, kerap membuatmu merasa paling suci
Ya, Yesusmu adalah juga Yesusku
Ia telah menebusku dari iman yang jumawa dan tinggi hati
Ia membuatku cinta pada yang dinista!
Semoga semua hidup berbahagia dalam kasih Tuhan
Oleh: Ari Budiyanti
Pada siapa aku bisa mengadu
Jika sepenuh hati telah Kau tahu
Pada siapa aku bisa meneriakkan tangis
Bila sedalam-dalamnya nurani Kau melihat dengan manis
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: