Air mata itu mata air puisimu
Gemericik yang memercik padi kata
Air mata itu mata air bagi dirimu
Yang kembara dalam silap di beberapa silam
Laiknya air bagi bentangan sawah petani
Yang dilipat bapak bupati
Air mata itu disekap sepuluh jari
Sebuah muslihat menyurukkan luka
Yang tak mungkin loka pahami
Air mata itu mata air yang terhenti
Sebelum sempat mancar, tersebab
Tak enak hati meluruhkan guratan
Kenang; hitam kesukaannmu
Tapi air mata itu bisa saja ihwal
Mata air yang muncul dari lubuk jantung: tempat sebuah belati pernah mencelupkan
Diri
Oleh: Rahmadi Prima
Kembali duduk termangu
kembali terdiam membisu
habis kata oleh rindu
Namun hanya bisa menunggu
Menunggu seseorang yang belum pasti
Tapi sudah jelas menjadi impian dihati
Terkadang aku lelah menanti
Karena dia belum pernah bersimpati
Entah berapa purnama lagi waktu yang akan kuhabiskan untuk menunggumu
Dalam kesendirianku yang datang hanya bayang semu
Yang terlihat samar dan perlahan menghilang
Namun rindu tetap rindu
Aku hanya bisa termangu menunggu
Meski tak menentu
Aku akan menunggu
Hai kawan!
Bagaimana kabarmu?
Masihkah sama seperti waktu lalu?
Ataukah kau telah tenggelam dalam pilu?
Masihkah kau terbius ramalan indah esok hari?
Atau seseorang membuatmu kembali menziarahi masa lalu?
Atau mungkin
Kau sudah terlalu akrab dengan kelam dan sendu?
Aku harap kamu baik-baik saja
Dan selalu dalam dekapan semesta
Aku harap kamu tidak pernah lupa
Akan kesaktian dari segaris senyumanmu
Dia adalah matahari
Dengan rambut berkobar bagaikan api
Mata berpendar oleh ambisi
Dan senyuman penghangat sanubari
Di sekelilingnya
Ia mampu menumbuhkan bunga
Membuat burung berkicauan
Membangunkan sisi indah kegelapan
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: