Kategori Berita
Media Network
Minggu, 04 MEI 2025 • 13:40 WIB

Tes Darah Kini Bisa Diagnosis Alzheimer? Berikut Penjelasan Peneliti

 

Ilustrasi pengidap Alzheimer.

INDOZONE.ID – Selama ini, diagnosis penyakit Alzheimer banyak bergantung pada gejala kognitif yang baru muncul setelah penyakit berkembang. Namun, kemajuan teknologi kini memungkinkan deteksi dini melalui biomarker darah yang lebih sensitif, dengan cara yang lebih mudah, murah, dan tidak invasif.

Dikutip dari Medical News Today, penyakit Alzheimer merupakan gangguan neurodegeneratif progresif yang berdampak pada kemampuan berpikir dan fungsi sehari-hari. Di Amerika Serikat, diperkirakan ada sekitar 7 juta orang yang hidup dengan penyakit ini. 

Diagnosis dini sangat penting, terutama dengan hadirnya tiga terapi pengubah penyakit yang telah disetujui Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA): aducanumab, lecanemab, dan donanemab.

Keterbatasan Metode Konvensional

Selama ini, Alzheimer didiagnosis melalui pemindaian otak seperti PET scan atau MRI, dan pemeriksaan cairan serebrospinal (CSF). Meski hasilnya akurat, metode ini tergolong mahal, invasif, dan tidak tersedia secara luas. Hal ini menjadi tantangan bagi pemeriksaan rutin di klinik maupun untuk studi skala besar.

Sebagai alternatif, para peneliti mengembangkan biomarker darah yang lebih praktis dan terjangkau. Meski awalnya kurang akurat dibanding metode standar, teknologi terkini memungkinkan biomarker darah mencapai tingkat keandalan yang semakin baik.

Tes Alzheimer tradisional memerlukan pungsi lumbal atau pemindaian otak khusus yang tidak tersedia di banyak fasilitas kesehatan. Sementara pengambilan darah adalah prosedur umum yang bisa dilakukan di klinik layanan primer,” ucap Ahli Saraf dari Universitas Washington di St. Louis, Dr. Suzanne Schindler.

Baca Juga: Kefir Probiotik: Harapan Baru dalam Melawan Penyakit Alzheimer?

Tantangan Diagnosis Berdasarkan Gejala Klinis

Ilustrasi pengambilan darah untuk deteksi Alzheimer.

Penyakit Alzheimer ditandai oleh akumulasi abnormal protein beta-amiloid dan tau di otak. Plak beta-amiloid terbentuk di antara neuron, sementara tau membentuk kusut di dalam neuron. Perubahan ini dapat terjadi 10 hingga 30 tahun sebelum gejala muncul—tahap yang disebut pra-klinis.

Karena itu, diagnosis yang hanya mengandalkan gejala seringkali tidak akurat. Studi menunjukkan sekitar 25–30 persen pasien Alzheimer tidak terdiagnosis secara tepat, bahkan di klinik spesialis demensia.

Biomarker Darah: Potensi dan Batasannya

Biomarker darah mampu memangkas waktu dan biaya skrining, termasuk dalam uji klinis. Biaya skrining terdahulu, misalnya dengan PET dan MRI, dapat mencapai 8.000 dolar per peserta, dan 44–88 persen peserta biasanya gagal lolos proses seleksi.

Beberapa biomarker darah yang tengah dikembangkan meliputi:

  • Beta-amiloid 42/40: Rasio ini memberikan hasil lebih akurat dibanding pengukuran tunggal, namun sensitif terhadap kesalahan karena beta-amiloid juga dihasilkan di luar otak.
  • Phosphorylated tau (p-tau): Termasuk p-tau181, p-tau217, dan p-tau231, yang memiliki korelasi kuat dengan tingkat penumpukan plak dan kerusakan saraf otak.
  • Neurofilament light (NfL): Mengindikasikan adanya kerusakan saraf, tetapi tidak spesifik untuk Alzheimer.
  • Glial fibrillary acidic protein (GFAP): Berkaitan dengan peradangan otak dan penurunan fungsi kognitif, bahkan sejak tahap awal.

Meski menjanjikan, tes ini belum banyak diuji pada populasi yang beragam. Sebagian besar studi dilakukan pada partisipan kulit putih dengan kondisi tertentu, sehingga validasi pada kelompok etnis dan kondisi kesehatan yang berbeda masih diperlukan.

Baca Juga: 7 Minuman Penyegar Otak: Bantu Fokus, Ingat Lebih Tajam, dan Cegah Alzheimer

Standarisasi dan Regulasi Masih Jadi Tantangan

Hingga kini, belum ada satu pun tes darah Alzheimer yang mendapat persetujuan resmi dari FDA. Metode dan antibodi yang digunakan dalam pengujian pun bervariasi, menghasilkan data yang belum sepenuhnya konsisten.

Beberapa tes darah Alzheimer memang sudah tersedia, tapi akurasinya masih bervariasi. Selain itu, hanya sedikit dokter yang benar-benar memahami kapan dan bagaimana tes ini digunakan,” ujar Dr. Schindler.

Ilustrasi seseorang mengidap Alzheimer.

Prof. Clifford Jack dari Mayo Clinic menambahkan, ketersediaan infrastruktur tes ini kemungkinan bukan menjadi kendala besar ke depannya. Namun, ia mengingatkan bahwa sebagian besar tes ini belum ditanggung asuransi, yang bisa membatasi aksesnya.

Menuju Era Diagnosis Dini

Dengan meningkatnya akurasi, tes darah diharapkan bisa digunakan secara luas dalam skrining pasien lansia, terutama mereka yang mengalami gangguan kognitif ringan. Deteksi lebih dini dapat memungkinkan intervensi sebelum gejala semakin parah.

Jika tantangan seperti standarisasi, pembiayaan, dan validasi dapat diatasi, biomarker darah berpotensi merevolusi cara dunia medis mendiagnosis, memantau, dan menangani Alzheimer, dari yang semula rumit, menjadi sesederhana tes darah rutin di layanan primer.

 

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber: Medical News Today

BERITA TERKAIT
BERITA TERBARU

Tes Darah Kini Bisa Diagnosis Alzheimer? Berikut Penjelasan Peneliti

Link berhasil disalin!