Kamis, 19 JUNI 2025 • 18:20 WIB

Apakah Temanmu Toxic? Kenali Ciri-Cirinya dan Lindungi Dirimu Sekarang!

Author

Ilustrasi pertemanan. (Freepik)

INDOZONE.ID - Menjalin hubungan dekat dengan orang lain adalah bagian penting dari kehidupan yang sehat dan bahagia. Memiliki sahabat bisa jadi sumber kebahagiaan, dukungan, dan tawa. 

Tapi sayangnya, tidak semua hubungan pertemanan berakhir menyenangkan. Ada kalanya, sosok yang dulu terasa dekat justru menjadi sumber luka atau tekanan mental.

Banyak psikolog mengatakan bahwa mereka sering menemui kasus pertemanan yang merugikan secara emosional alias toxic friendship. Alih-alih membawa manfaat seperti dukungan mental dan rasa nyaman, hubungan ini justru membuat seseorang merasa lelah secara emosional.

Brooke Sprowl, seorang terapis asal Santa Monica, menjelaskan bahwa biasanya hanya satu orang yang tulus, sementara yang lainnya cenderung mengontrol atau memanipulasi. Akibatnya, si korban jadi merasa bersalah saat mencoba menetapkan batasan, seolah-olah mereka egois atau mengecewakan.

Lebih parahnya lagi, mereka mulai meragukan penilaian sendiri — apakah semuanya memang salah atau hanya perasaan mereka saja? Tidak mengherankan jika hubungan seperti ini menimbulkan stres, menurunkan rasa percaya diri, bahkan memicu gangguan kecemasan dan depresi.

Baca juga: Gaya Maia Estianty Nganter Suami Kerja ke Eropa Usai Mantu Al Ghazali, Mantap Bun!

Berdasarkan kenyataan bahwa tidak semua pertemanan membawa dampak positif, para ahli pun membagikan panduan penting: bagaimana cara mengenali ciri-ciri pertemanan yang toxic, dan langkah apa saja yang bisa kamu ambil untuk menjaga kesehatan mentalmu. 

Jika kamu mulai merasa hubungan itu lebih banyak menguras energi daripada memberi dukungan, mungkin sudah saatnya untuk mengevaluasinya.

1. Tanda-tanda Awal: Ketika Pertemanan Mulai Tak Sehat

Salah satu ciri paling umum dari pertemanan yang tidak sehat adalah ketika hubungan itu terasa sangat berat sebelah. Kamu mungkin merasa hanya kamu yang selalu berusaha menghubungi duluan, merencanakan waktu bertemu, dan menjaga komunikasi tetap berjalan. 

Tanpa disadari, kamu berubah menjadi “tempat curhat gratis” — selalu mendengarkan masalah mereka, memberi saran, tapi tidak pernah mendapatkan dukungan yang sama. 

Seperti yang dijelaskan oleh Dr. Sarah Quaratella, psikiater yang sering menangani mahasiswa, hubungan semacam ini membuatmu seolah hanya menjadi wadah untuk keluhan mereka, padahal mereka bahkan tak ingat hal kecil tentangmu. Ini adalah sebuah red flag besar dalam pertemanan.

Baca juga: Mau Nambah Otot dan Lenyapkan Lemak? Rahasianya Ada di Protein!

2. Mereka Tidak Menghargai Batasan Pribadi? Hati-Hati!

Teman yang sehat akan menghormati batasan yang kamu tetapkan. Misalnya, jika kamu sudah mengatakan pada mereka bahwa setelah jam 8 malam kamu ingin menikmati waktu santaimu di depan TV atau pergi tidur, tapi mereka tetap menelepon tengah malam tanpa henti — itu bukan sekadar gangguan kecil. Itu adalah tanda bahwa mereka tidak menghargai ruang pribadimu. 

Dr. Quaratella menjelaskan bahwa ketika teman mulai menekanmu, lalu membuatmu merasa bersalah, atau seolah kamu harus berubah agar bisa diterima oleh mereka, itu jelas merupakan sinyal hubungan pertemanan yang tidak sehat. Kamu berhak merasa nyaman menjadi dirimu sendiri tanpa tekanan.

3. Lingkungan Pertemanan yang Salah Bisa Menenggelamkan Potensimu

Jika seseorang tumbuh di lingkungan yang pertemanan yang penuh tekanan, seperti pergi berpesta setiap minggu — meski ia tidak nyaman. Tak jarang keputusan yang ia ambil saat itu meninggalkan penyesalan di kemudian hari, hingga akhirnya ia merasa terasing karena ia tak bisa berbagi tentang hal-hal yang ia sukai atau ingin ia lakukan. 

Saat ia mulai tertarik untuk belajar dan mengembangkan diri, teman-temannya justru tidak mendukung atau bahkan mengejeknya. Ia merasa tidak bisa menjadi dirinya sendiri. Dari situlah dia sadar bahwa teman yang negatif bisa membuat kita merasa rendah dan menghambat pertumbuhan kita.

Lingkungan sosial punya pengaruh besar, karena emosi itu mudah menular. Dan jika kamu dikelilingi energi negatif, kamu bisa ikut tenggelam bersamanya.

4. Ketika Teman Membuatmu Kehilangan Diri Sendiri

Sama seperti contoh kasus diatas, kamu mungkin mulai menyadari bahwa saat bersama teman-teman tertentu, kamu merasa seperti bukan dirimu sendiri. Psikolog Jenna Brownfield dari Minneapolis menjelaskan bahwa dalam hubungan pertemanan yang tidak sehat, seseorang bisa merasa kehilangan bagian dari dirinya yang paling berharga. 

Misalnya, kamu yang biasanya penuh empati, mulai merasa kesulitan bersikap peduli, atau kamu yang biasanya ceria dan suka bercanda, jadi merasa datar dan kehilangan keceriaanmu. Jika setelah bertemu seorang teman kamu merasa lelah secara mental dan emosional, bisa jadi itu tanda bahwa pertemanan tersebut sedang mengurasmu, bukan menguatkanmu.

5. Waspadai Tanda “Emotional Hijacking” dalam Pertemanan

Menurut psikolog Jenna Brownfield, teman yang toxic sering melakukan emotional hijacking, yaitu saat seseorang – sengaja atau tidak – memicu ledakan emosi secara tiba-tiba, seperti berteriak atau berkata kasar. Mereka juga cenderung menekan secara emosional, misalnya dengan kalimat seperti, “Kita harus bicara sekarang juga!”

Teman seperti ini biasanya memiliki pola pikir kekurangan atau scarcity mindset — mereka ingin merasa sebagai satu-satunya teman penting dalam hidupmu. 

Tanda-tandanya bisa terlihat dari ucapan seperti, “Kamu nggak boleh punya teman lain,” atau “Kenapa kamu malah curhat ke orang lain, bukan ke aku?” Sikap seperti ini perlahan-lahan bisa menjauhkanmu dari orang lain, hingga kamu merasa terjebak dalam satu pertemanan yang tidak sehat.

Apa yang Harus Dilakukan saat Menghadapi Pertemanan yang Toxic?

Sebelum mengambil keputusan besar, beri dirimu waktu untuk berpikir jernih. Langkah pertama yang disarankan oleh Dr. Quaratella adalah mengambil jarak sejenak dari situasi tersebut. 

Coba bicarakan perasaan dan kondisimu dengan orang-orang yang kamu percaya, agar kamu mendapatkan perspektif yang lebih objektif.

Tanyakan pada dirimu sendiri : “Apa harapan jangka panjangku dari pertemanan ini? Apa yang perlu diubah? Apakah perubahan itu mungkin terjadi?” — dengan refleksi ini, kamu bisa mulai merancang cara untuk tetap menjaga harga diri dan integritas, sambil memperjuangkan batasan yang sehat dalam hubungan.

Psikolog Jenna Brownfield juga menambahkan bahwa terkadang, perubahan yang dibutuhkan justru bisa dimulai dari diri sendiri. Dengan belajar lebih peka terhadap emosi dan melatih teknik pengelolaan emosi, kamu bisa mengurangi rasa tersulut saat menghadapi sikap temanmu. 

Pertanyaannya: Apakah dengan aku tetap tenang saat dia mulai emosional, bisa mengubah dinamika hubungan ini? Jika iya, itu bisa menjadi langkah awal untuk hubungan yang lebih sehat — atau menjadi sinyal bahwa sudah waktunya kamu menjaga jarak.

Jika segala cara sudah dicoba namun tidak membuahkan hasil, maka saatnya melakukan pembicaraan secara langsung. Menurut Jenna Brownfield, pendekatan terbaik adalah dengan menyoroti pola atau siklus yang membuat hubungan pertemanan kalian menjadi tidak sehat. 

Alih-alih menyalahkan satu sama lain, fokuslah pada “musuh bersama”, yaitu pola negatif itu sendiri. Kamu bisa mengatakan sesuatu seperti, “Kita sering masuk ke pola yang sama dan itu menyakiti hubungan ini. Gimana kalau kita cari cara untuk memperbaikinya bareng-bareng?”

Perubahan tentu mungkin terjadi, tapi jangan berharap hasil instan. Diperlukan waktu, konsistensi, dan komitmen dari kedua belah pihak. 

Setelah percakapan itu terjadi, perhatikan apakah perilaku buruk kembali muncul. Jika iya, angkat kembali isu tersebut dengan jujur, misalnya, “Eh, kita keulang lagi nih kayak kemarin.”

Namun, jika situasinya terus memburuk, atau temanmu tidak menunjukkan usaha untuk berubah, maka kamu perlu mempertimbangkan untuk menjaga jarak atau bahkan mengakhiri hubungan tersebut. 

Melepaskan mungkin terasa berat, tetapi terkadang, meninggalkan pertemanan yang tidak sehat adalah langkah terbaik untuk menjaga kesehatan mental dan pertumbuhan dirimu sendiri.

Cara Akhiri Pertemanan dengan Sopan

Mengakhiri sebuah pertemanan memang tidak mudah, tapi cara kamu menyampaikannya bisa membuat perbedaan besar. Jika hubungan terasa sudah tidak sehat, kamu bisa menjaga jarak secara perlahan tanpa harus memutuskan secara langsung. 

Namun, jika perlu kejelasan, lebih baik sampaikan secara jujur dan sopan tanpa menyakiti perasaan mereka. Misalnya, kamu bisa bilang, “Saat ini aku butuh waktu untuk diriku sendiri dan ingin mengambil jarak dari pertemanan ini.” 

Jika kamu merasa terluka karena mereka, katakan dengan tegas tetapi tetap hormat, “Aku tidak nyaman dengan arah hubungan ini, jadi aku memilih untuk berhenti berkomunikasi dulu.” Seperti yang dikatakan oleh Dr. Quaratella bahwa kita harus membiarkan hubungan itu terbuka, jadi jika suatu saat kalian berada di momen atau situasi yang sama lagi, kalian masih bisa kembali terhubung.

Intinya, pilihlah cara yang sesuai dengan kondisi dan nilai-nilai pribadimu. Mengakhiri pertemanan bukan berarti kamu jahat — itu bisa menjadi bentuk kasih sayang terhadap diri sendiri dan langkah menuju hubungan yang lebih sehat di masa depan.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber: Amatan Penulis

TERPOPULER
TAG POPULER
BERITA TERKAIT
BERITA TERBARU
Tentang Kami Redaksi Info Iklan Kontak Pedoman Media Siber Kode Etik Jurnalistik Pedoman AI dari Dewan Pers Karir