Selasa, 14 JANUARI 2025 • 18:20 WIB

Vaksin Krim Tanpa Suntik, Inovasi Baru dari Universitas Stanford untuk Atasi Rasa Sakit

Author

Vaksin berbentuk krim.

INDOZONE.ID - Para peneliti di Universitas Stanford, Amerika Serikat, berhasil mengembangkan vaksin berbentuk krim, untuk mengatasi rasa sakit dan efek samping seperti bengkak saat diberikan vaksin melalui suntikan.

Selain itu, penggunaannya juga lebih mudah, hanya cukup dioleskan saja pada kulit.

Penemuan ini tercapai setelah para peneliti di Universitas Stanford berhasil merekayasa bakteri umum yang hidup di kulit, menjadi vaksin hidup yang potensial.

Michael Fischbach, seorang profesor di bidang bioengineering mengatakan bahwa semua orang tidak suka jarum.

Peneliti lain, Profesor Liu (Liao) Family berkata “Saya belum menemukan seorang pun yang tidak suka dengan gagasan menggantikan suntikan dengan krim."

Namun, kulit adalah lingkungan yang terkenal tidak ramah. Fischbach berkata bahwa kulit sangat kering, terlalu asin bagi kebanyakan makhluk bersel satu, dan tidak banyak nutrisi.

Dia tidak bisa membayangkan ada makhluk yang ingin hidup di sana.

Baca Juga: Terobosan Baru untuk Kanker Payudara, Vaksin Eksperimental Tunjukkan Hasil Positif

Meski begitu, mikroba tangguh tetap hidup di kulit manusia, termasuk Staphylococcus epidermidis, bakteri tidak berbahaya yang ada pada hampir semua orang.

"Mikroba ini tinggal di setiap folikel rambut hampir setiap manusia di planet ini," kata Fischbach.

Imunolog sebagian besar mengabaikan mikroba kulit ini, dengan asumsi mereka tidak memainkan peran signifikan dalam kesehatan manusia.

Namun, penelitian terbaru dari tim Fischbach mengungkapkan respons imun yang sangat kuat terhadap bakteri staphylococcus epidermidis.

Dalam sebuah studi yang diterbitkan di Nature pada 11 Desember lalu, Fischbach dan rekan-rekannya berfokus pada produksi antibodi oleh sistem imun, sebuah protein yang mengikat patogen dan mencegah penyebarannya. Setiap antibodi menargetkan fitur biokimia spesifik dari patogen.

Untuk menguji apakah sistem imun tikus dapat mengenali staphylococcus epidermidis, penulis utama dan peneliti pascadoktoral Djenet Bousbaine, melakukan eksperimen sederhana.

Ia mengusap tikus dengan staphylococcus epidermidis dan memantau kadar antibodi mereka selama enam minggu.

Respons antibodi tikus terhadap staphylococcus epidermidis mengejutkan Fischbach. Ini karena kadar antibodi terus bertambah dan bertambah lagi seiring berjalannya waktu.

Setelah enam minggu, konsentrasi antibodi melebihi yang biasanya diamati pada vaksinasi reguler.

"Hal yang sama tampaknya terjadi secara alami pada manusia. Kami mengambil darah dari donor manusia dan menemukan bahwa kadar antibodi mereka terhadap staphylococcus epidermidis setinggi apa yang biasa kita dapatkan dari vaksinasi rutin," katanya.

Reaksi imun ini tampaknya berfungsi sebagai pertahanan awal terhadap potensi kerusakan.

"Pertahanan terbaik adalah antibodi tersebut. Itu adalah cara sistem imun melindungi kita dari luka, goresan, dan lecet yang kita alami dalam kehidupan sehari-hari," sambung Fischbach.

Terinspirasi oleh kekebalan alami ini, tim Fischbach merekayasa staphylococcus epidermidis untuk bertindak sebagai vaksin.

Mereka mengidentifikasi protein kunci, Aap, yang memicu respons antibodi yang kuat. Protein ini menonjol dari permukaan bakteri, memungkinkan sel imun mendeteksinya.

Bekerja sama dengan  Direktur Pasteur Institute, Yasmine Belkaid, mereka mengonfirmasi peran sel imun penjaga, yang disebut sel Langerhans, dalam memberi sinyal kepada sistem imun mengenai keberadaan staphylococcus epidermidis.

Tim kemudian memodifikasi Aap untuk menampilkan fragmen patogen berbahaya, seperti racun tetanus.

Dalam eksperimen, tikus yang diusap dengan bakteri rekayasa ini mengembangkan antibodi yang kuat terhadap tetanus.

Baca Juga: OvarianVax: Vaksin Pertama dari Inggris untuk Mencegah Kanker Ovarium

Ketika terpapar dosis mematikan racun tetanus, tikus yang telah dirawat tetap bebas gejala, sementara tikus yang tidak dirawat meninggal.

Pendekatan serupa juga berhasil untuk racun difteri, dan para ilmuwan menemukan bahwa respons antibodi yang menyelamatkan nyawa dapat dicapai hanya dengan dua atau tiga aplikasi.

Bahkan tikus muda yang telah terkolonisasi oleh staphylococcus epidermidis merespons secara efektif, menunjukkan bahwa kolonisasi kulit yang meluas pada manusia tidak akan mengganggu potensinya sebagai platform vaksin.

Dalam eksperimen lain, para peneliti memproduksi fragmen racun tetanus secara terpisah dan menghubungkannya dengan Aap menggunakan proses kimia.

Metode ini juga menghasilkan respons imun yang kuat, melindungi tikus dari dosis racun tetanus enam kali lipat lebih besar dari yang mematikan.

Setelah berhasil pada tikus, Fischbach dan timnya akan melanjutkan eksperimen tersebut kepada monyet.

"Jika berhasil, uji klinis akan dilakukan dapat dimulai dalam dua hingga tiga tahun," ucap Fischbach.

"Kami pikir ini akan berhasil untuk virus, bakteri, jamur, dan parasit bersel satu," tambahnya.

Sebagian besar vaksin memiliki bahan yang merangsang respons inflamasi dan membuat seseorang merasa sedikit sakit. Mikroba ini tidak melakukan itu.

Fischbach dan tim berharap vaksinnya nanti tidak akan menghasilkan peradangan sama sekali terhadap tubuh.

Banner Z Creators.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber: Synbiobeta