Rabu, 30 APRIL 2025 • 12:27 WIB

Papua Jadi Episentrum Malaria Diangka 91 Persen, Pakar UGM Desak Kemenkes RI Jadikan Kasus Itu Prioritas Penanganan

Author
 
INDOZONE.ID - Meski angka kasus Malaria di berbagai wilayah di Indonesia telah menurun, namun tren dalam dua tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang mengkhawatirkan.
 
Data menunjukkan, pada tahun 2024, estimasi kasus Malaria nasional mencapai hampir satu juta kasus, yang menandakan bahwa eliminasi Malaria belum tercapai sepenuhnya. 

Guru Besar Bidang Parasitologi dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK) sekaligus peneliti Pusat Kedokteran Tropis (PKT) UGM Prof. Elsa Herdiana Murhandarwati, mengatakan, Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan parasit Plasmodium, yang ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Anopheles sp. betina.

Parasit ini masuk ke aliran darah dan menyerang sel darah merah, menyebabkan gejala seperti demam periodik, menggigil, nyeri kepala, dan kelelahan.

Berbeda dengan nyamuk Aedes yang menularkan demam berdarah dan aktif di pagi hingga sore hari, nyamuk Anopheles sp. umumnya menggigit pada malam hingga dini hari,” kata Elsa dalam keterangan yang dikirim ke wartawan, Rabu (30/4/2025).

Menurut Elsa, di Wilayah Indonesia bagian Timur, terutama Papua, masih menjadi episentrum penularan Malaria di Indonesia dengan kontribusi sekitar 91 persen dari total kasus nasional. Ia menyebutkan, kasus Malaria di Papua perlu prioritas penanganan dari Kementerian Kesehatan.

"Apalagi kondisi geografis yang mendukung perkembangbiakan nyamuk Anopheles sp seperti hutan lebat, rawa, dan genangan air alami serta terbatasnya akses layanan kesehatan di daerah pedalaman," ujarnya.

"Ditambah, distribusi tenaga medis yang belum merata, tantangan logistik serta tingginya aktivitas masyarakat di area terbuka tanpa perlindungan disebutnya memperbesar risiko penularan," lanjutnya.

BACA JUGA: Mayat Terduga Mahasiswa yang Meninggal Dalam Keadaan Membusuk di Indekost Diketahui Alumni UGM

Secara umum, kata dia, wilayah perbatasan negara menjadi salah satu titik rawan penyebaran Malaria. Untuk itu, PKT UGM bersama Asia Pacific Leaders Malaria Alliance (APLMA) melaksanakan riset operasional di wilayah perbatasan Indonesia-Timor Leste.

Riset ini bertujuan untuk mengidentifikasi hambatan-hambatan utama dan merumuskan solusi praktis berbasis bukti yang bisa diterapkan oleh kedua negara.

Riset ini krusial sebab vitalnya lintas batas negara dalam upaya eliminasi Malaria.

Bayangkan jika satu negara sudah hampir eliminasi Malaria, tapi negara tetangganya masih tinggi kasusnya,” ucapnya. 

Kondisi tersebut bisa menyebabkan apa yang disebut 'kasus impor' sehingga kerja sama lintas batas membuka peluang besar untuk berbagi informasi dan sumber daya.

BACA JUGA: Sosiolog UGM Beri Cara untuk Berantas Judi Online

Misalnya, negara-negara bisa saling berbagi data kasus, mendirikan pos kesehatan bersama di perbatasan, dan melakukan deteksi dini agar penularan bisa dicegah lebih cepat.

Hasil riset kemudian ditindaklanjuti dalam kegiatan diseminasi dan pertemuan satuan tugas bersama lintas negara. Tiga intervensi utama yang dihasilkan antara lain pembangunan dashboard data lintas batas, penguatan surveilans migrasi, dan pembentukan gugus tugas bersama untuk Malaria.

Pendekatan ini menjadi strategi penting untuk memperkuat koordinasi dan komunikasi antarnegara serta menjaga keberlanjutan upaya eliminasi,” katanya.

Untuk itu, Elsa kembali menekankan pentingny masyarakat beserta jajaran stakeholder lainnya guna memperkuat kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, peneliti, dan masyarakat dalam mengejar target Indonesia bebas Malaria tahun 2030.

Pencegahan, deteksi dini, dan kerja sama lintas batas merupakan kunci untuk mengakhiri Malaria, tidak hanya mengancam kesehatan, tapi juga menghambat pembangunan sosial dan ekonomi,” pungkasnya.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber: Keterangan Pers