Puisi Amir Hamzah mencerminkan konflik batin yang mendalam. Makanya ia termasuk satu-satunya penyair berkelas internasional dari angkatan Poedjangga Baroe.
Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
Kaulah kendi kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia, selalu
Satu kasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa
Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata
Merangkai hati
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa darah dibalik tirai
Kasihku sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu—bukan giliranku
Mati hari—bukan kawanku
Dikau sambur limbur pada senja
dikau alkamar purnama raya
asalkan kanda bergurau senda
dengan adinda tajuk mahkota.
Dituan rama-rama melayang
didinda dendang sayang
asalkan kandaa selang-menyelang
melihat adinda kekasih abang.
Ibu, seruku ini laksana pemburu
memikat perkutut di pohon ru
sepantun swara laguan rindu
menangisi kelana berhati mutu.
Kelana jauh duduk merantau
di balik gunung dewala hijau
di Seberang laut cermin silau
Tanah Jawa mahkota pulau.
Buah kenanganku entah ke mana
lalu mengembara ke sini sana
haram berkata sepatah jua
ia lalu meninggalkan beta.
Ibu, lihatlah anakmu muda belia
setiap waktu sepanjang masa
duduk termenung berhati duka
laksana Asmara kehilangan seroja.
Bonda waktu tuan melahirkan beta
pada subuh kembang cempaka
adakah ibu menaruh sangka
bahawa begini peminta anakda?
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: