Ilustrasi ibu menyusui (Unsplash/@jonathanborba)
Puasa Ramadan merupakan ibadah wajib bagi setiap orang yang beragama Islam (umat Muslim). Namun, Allah SWT memberikan keringanan kepada mereka yang tidak bisa menjalankan puasa Ramadan.
Hal itu bisa terjadi karena seseorang sakit, haid (menstruasi), sedang hamil dan menyusui, atau karena sudah lanjut usia.
Bagi ibu hamil dan menyusui diperbolehkan tidak menjalankan puasa Ramadan. Jika sudah melewati masa hamil dan menyusui, maka wajib hukumnya untuk mengganti puasa pada hari lain di luar bulan Ramadan.
Namun, jika seseorang merasa berat untuk membayar utang puasa Ramadan yang bolong dengan berpuasa, maka bisa mengganti puasa Ramadan dengan membayar fidyah.
Fidyah dilakukan dengan memberi makan orang miskin. Jumlah orang yang akan diberi fidyah haruslah sesuai dengan jumlah puasa yang ditinggalkan (bolong).
Ibu hamil dan menyusui dibolehkan tidak qadha puasa dan mengganti puasa Ramadan yang bolong tersebut dengan membayar fidyah.
Dalam Alquran, kondisi ibu hamil dan menyusui disebut seperti "wahnan 'ala wahnin" (artinya lemah yang bertambah-tambah).
Lalu, bagaimana hukum mengganti puasa bagi ibu hamil dan menyusui menurut syariat Islam? Terkait hal ini, ada beberapa pendapat berbeda dari para ulama.
Ulama mazhab Hanafi dari Abu Hanifah, Abu Ubaid, dan Abu Tsaur, mewajibkan qadha (ganti) puasa saja tanpa perlu membayar fidyah.
Menurut ulama mazhab Hanafi, ibu hamil dan menyusui mirip dengan orang yang sakit. Adapun hukum ganti puasa bagi orang sakit yakni dengan berpuasa pada hari lain di luar bulan Ramadan.
"Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditingggalkan itu pada hari-hari yang lain." (Q.S Al-Baqarah ayat 184)
Sementara, pendapat ulama lain mengatakan bahwa hukum mengganti puasa Ramadan bagi ibu hamil dan menyusui, cukup dengan membayar fidyah tanpa perlu mengqadha puasa.
Pendapat ulama tersebut berazaskan dengan firman Allah SWT dalam Surat Al-Baqarah ayat 184, yang berbunyi:
"Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah (yaitu) memberi makan orang miskin."
Di sisi lain, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat, ibu hamil dan menyusui yang meninggalkan puasa Ramadan karena memikirkan kondisi kesehatan ia dan bayinya, maka wajib mengqadha puasa sekaligus membayar fidyah.
Hal itu dikarenakan kondisi wanita hamil dan menyusui serupa dengan orang sakit dan yang terbebani dalam beribadah puasa.
Alasan Imam Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat demikian yakni berdasar pada dua dalil dalam Surat Al-Baqarah ayat 184:
"Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditingggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah (yaitu) memberi makan orang miskin." (Q.S Al-Baqarah ayat 184)
Imam Maliki juga punya pendapat lain terkait hukum mengganti puasa Ramadan bagi wanita hamil dan menyusui.
Menurut mazhab Maliki, membayar utang puasa Ramadan bagi wanita hamil cukup dengan qadha puasa saja. Sedangkan, bagi wanita menyusui, harus mengqadha puasa dan membayar fidyah.
Dari segi hukum yang dipegang oleh mazhab Maliki, kondisi wanita hamil dan ibu sedang menyusui itu berbeda.
Wanita hamil lebih dekat diqiyaskan sebagaimana orang sakit, sedangkan wanita menyusui qiyasnya mencakup dua kondisi yaitu orang sakit serta orang yang terbebani berpuasa.
Kesimpulan:
Terkait hukum membayar utang puasa Ramadan bagi ibu hamil dan menyusui, jumhur (mayoritas) ulama Indonesia mengambil pendapat dari ulama Maliki, sebagai langkah ihtiyath (kehati-hatian).
Jadi, bagi yang punya kelapangan waktu dan harta, akan lebih baik jika menjalankan puasa sekaligus membayar fidyah.
Namun terlepas dari itu, setiap umat Muslim sebaiknya berpegang pada hukum sesuai mazhab masing-masing, baik itu mazhab Imam Syafi'i, Hambali, Maliki, dan seterusnya.
Adapun ketentuan dan cara membayar fidyah utang puasa Ramadan, sebagai berikut:
Untuk besaran fidyah yang diberikan, menurut ulama Malikiyah dan Syafi'iyah yaitu sebanyak 1 mud makanan pokok (kira-kira 6 ons = 675 gram = 0,75 kg atau seukuran kedua telapak tangan).
Sementara itu, ulama Hanafiyah mengatakan kadar fidyah yang wajib adalah dengan 1 sho kurma atau 1 sho syair (gandum) atau sho hinthoh (biji gandum).
Di sisi lain, Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Sholih Al-Fauzan dan Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wal Ifta (Komisi Fatwa Saudi Arabia) mengatakan ukuran fidyah yaitu setengah sho dari makanan pokok di negara masing-masing.
Ketentuan itu didadasari pada fatwa beberapa sahabat Nabi, seperti Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu.
Ukuran 1 sho (kurma/gandum/beras) = 4 mud. Satu sho kira-kira 3 (tiga) kilogram. Setengah sho kira-kira 1,5 kilogram untuk satu hari puasa.
Terkait membayar fidyah puasa Ramadan dengan uang sampai saat ini masih menjadi perdebatan.
Dari kalangan Hanafiyah mengatakan, fidyah boleh dibayarkan dalam bentuk uang sesuai hitungan yang berlaku.
Misalnya, harga 1,5 kilogram makanan pokok per hari dikonversikan ke dalam rupiah (diuangkan).
Namun mayoritas ulama mulai dari Syafiiyah, Malikiyah, dan Hanabilah mengatakan bahwa membayar fidyah tidak boleh dengan uang.
Artinya, membayar batal puasa Ramadan dengan fidyah harus dalam bentuk makanan pokok, baik mentah maupun sudah dimasak berupa lauk-pauk.
Sebagaimana firman Allah SWT terkait fidyah:
"Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin." (QS. Al-Baqarah: 184).
Wallahu'alam bish-shawab.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: