Kategori Berita
Media Network
Kamis, 14 NOVEMBER 2024 • 08:00 WIB

Memahami Tradisi Kawin Tangkap Piti Maranggangu, Antara Hak dan Tradisi Perempuan

Dengan demikian, mempraktikkan Piti Marangangu sama saja dengan mempertaruhkan nama baik keluarga besar dan leluhur.

Biasanya praktek Piti Maranggangu dilakukan dengan cara menyuruh perempuan yang akan menjadi mempelai tersebut untuk pergi ke tempat-tempat umum seperti pasar dan lainnya.

Di lokasi tersebut, sudah ada beberapa orang laki-laki yang siap untuk menangkap dan menculiknya untuk segera dibawa menuju rumah calon mempelai laki-laki dari perempuan tersebut.

Seorang perempuan Sumba akan diculik dan dipaksa menikah untuk aslan yang dibenarkan secara budaya, terlepas dari kesediaan perempuan tersebut untuk menikahi pria yang "menculiknya" tersebut.

Setelah perempuan yang diculik tiba di rumah calonnya tersebut—yang tidak dia ketahui—akan ada proses lanjutan di mana keluarga dari perempuan datang dan mencari-cari anak mereka yang baru diculik itu.

Atau, keluarga dari pihak laki-laki akan memberitakan kepada keluarga pihak perempuan bahwasannya anak mereka ada di kampung keluarga pihak laki-laki.

Piti Maranggangu itu juga dapat terjadi karena terjadi hambatan dari peraturan adat lainnya, tetapi pihak laki-laki tetap memaksa untuk menikahinya.

Biasanya keluarga mempelai pria terhalang belis atau mahar besar dari pihak perempuan yang umumnya adalah hewan ternak.

Maka dilakukanlah ‘kawin tangkap’ tersebut, dengan dalih untuk mempersingkat segala tetek-bengek formalitas dari persetujuan angka belis di antara kedua belah keluarga.

Pihak perempuan sering kali menjadi korban dalam konteks ini, karena minimnya kesempatan atau dukungan untuk menyuarakan keberatan mereka terhadap pernikahan yang tidak mereka inginkan, demi martabat keluarga dalam struktur sosial masayarakat Sumba.

Dampak dari praktik ini sangat serius. Selain merampas kebebasan individu, kawin tangkap dapat menyebabkan masalah kesehatan mental bagi perempuan yang terpaksa menikah tanpa keinginan mereka.

Dalam masyarakat patriarkal seperti Sumba, perempuan sering kali tidak memiliki suara dalam keputusan yang memengaruhi hidup mereka.

Penelitian menunjukkan bahwa banyak perempuan mengalami trauma psikologis akibat pemaksaan ini, yang dapat berlanjut hingga dewasa.

Perkawinan dan Harga Seorang Perempuan Sumba

Menurut hukum perdata, perkawinan adalah salah satu hak asasi manusia  yang dijamin oleh negara melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber: Jurnal Pemikiran Dan Penelitian Psikologi

BERITA TERKAIT
BERITA TERBARU

Memahami Tradisi Kawin Tangkap Piti Maranggangu, Antara Hak dan Tradisi Perempuan

Link berhasil disalin!