Seorang wanita menjalani tes usap COVID-19. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Pandemi COVID-19 seolah terus mengalami tarik ulur terkait kapan berakhirnya.
Pada akhir tahun 2021, banyak masyarakat yang mengira bahwa wabah virus corona itu akan sudah berakhir di tahun 2022. Nyatanya, gelombang ketiga dengan varian Omicron merebak.
Namun kini, memasuki Maret 2022, kasus COVID-19 kembali melandai. Sampai-sampai, pemerintah pun membuat aturan baru terkait perjalanan domestik, di mana pelaku perjalanan domestik tidak perlu lagi menunjukkan hasil negatif tes PCR atau antigen.
Aturan itu tertuang dalam Surat Edaran Nomor 11 Tahun 2022 tentang Ketentuan Perjalanan Orang Dalam Negeri Pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), untuk menjadi acuan bagi PPDN dan sebagai bentuk kesiapan Indonesia beralih menuju endemi yang berlaku mulai 8 Maret 2022.
Dari situasi yang ada, masyarakat pun bertanya-tanya kapan Indonesia akan berstatus endemi dan kapan Pandemi COVID-19 berakhir.
Menanggapi pertanyaan itu, pihak Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 bilang hal itu bukan wewenang mereka, melainkan merupakan otoritas WHO.
"Karena untuk mengubah pandemi yang berdampak pada banyak negara diperlukan perbaikan kondisi kasus juga secara global," ujar Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito dalam konferensi pers daring di Jakarta, Selasa (8/3/2022).
Ia mengemukakan, istilah endemi digunakan untuk menggambarkan keberadaan sebuah penyakit yang cenderung terkendali karena jumlah kasus yang rendah secara konsisten.
Menurutnya, kondisi terkendali hanya dapat tercapai jika masyarakat secara kolektif menjalankan pengendalian COVID-19 dengan optimal.
"Ke depan, semoga masyarakat dunia semakin baik beradaptasi hidup berdampingan dengan COVID-19," ucapnya.
Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19, Reisa Broto Asmoro menyatakan perlu pertimbangan dan kehati-hatian dalam membuat strategi agar negara bisa memasuki fase endemi.
"Strategi dari pandemi ke endemi ini perlu sesuai dengan arahan presiden. Harus dipertimbangkan dengan penuh kehati-hatian," katanya.
Menurut Reisa, strategi yang diterapkan untuk menuju fase endemi tidak boleh hanya melihat dari sisi kesehatan maupun ilmu pengetahuan saja.
Semua strategi yang dibuat butuh pertimbangan lebih lanjut dengan turut memperhatikan sisi sosial, budaya, hingga ekonomi agar dampak yang terjadi dari keputusan itu bisa bersifat imbang dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat.
“Harus imbang antara aspek kesehatan, sosial dan ekonomi. Jadi hasil keputusan di Indonesia bisa lebih baik dan tepat. Itu yang kita harapkan," kata Reisa yang juga Duta Adaptasi Kebiasaan Baru tersebut.
Terpisah, Epidemiolog dari Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Banten Kamaluddin Latief mengatakan pelonggaran syarat pelaku perjalanan di Indonesia harus disertai dengan protokol kesehatan yang ketat.
Kamaluddin mengatakan meski dalam aturan terbaru pelaku perjalanan domestik terdapat pelonggaran syarat tes PCR dan antigen, masyarakat terutama pelaku perjalanan diminta tetap waspada.
“Penerapan kebijakan juga harus diikuti dengan upaya meningkatkan indikator kepatuhan terhadap protokol kesehatan dan kapasitas testing tracing kita. Ini yang yang harus kita prioritaskan terlebih dahulu,” katanya.
KSP : Penghapusan Antigen dan PCR Bukan Upaya Menyegerakan Penetapan Status Endemi
Perjalanan Domestik Bebas Tes Covid-19, Wagub DKI: Kita Sedang Memasuki Endemi
Menkes Sebut Pemerintah Mulai Pertimbangkan Ubah Status Covid-19 Jadi Endemi
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: