INDOZONE.ID - Tenun ikat di Nusa Tenggara Timur (NTT) bukan cuma kain biasa. Ternyata, kain-kain itu memiliki makna mendalam untuk para gadis di sana.
Setiap kain yang ditenun punya cerita sendiri, menceritakan siapa mereka, tradisi yang mereka pegang, dan perjalanan hidup mereka.
Misalnya, warna dan pola di kain itu bukan cuma hiasan, tapi juga menunjukkan status sosial orang yang memakai dan budaya yang diturunkan dari nenek moyang mereka.
Jadi, jika orang melihat kain tenun ikat, mereka tidak hanya melihat kainnya saja, tapi juga bisa merasakan cerita dan nilai-nilai yang ada di baliknya.
Menenun itu bukan hal yang mudah, butuh waktu dan kesabaran yang banyak. Budaya di NTT, jika seorang gadis bisa menenun dengan bagus dan menghasilkan kain yang cantik, itu dianggap sebagai hal yang sangat positif.
Hal ini berarti dia dianggap siap untuk melangkah ke fase baru dalam hidupnya, seperti menikah dan jadi ibu yang baik.
Baca Juga: Kain Tenun Songket Lombok, Keindahan Warisan Budaya Nusantara dari Kepulauan Sunda Kecil
Kain tenun yang dibuat seorang gadis bisa jadi tanda bahwa dia sudah siap memulai babak baru dalam hidup, bukan cuma soal keterampilan menenun, tapi juga soal kematangan dan kesiapan menjalani kehidupan selanjutnya.
Selain itu, menenun ikat di NTT itu lebih dari sekadar membuat kain, karena ada hubungan kuat dengan hal-hal spiritual.
Banyak motif di kain tenun terinspirasi dari alam, seperti bunga, hewan, atau elemen alam lainnya yang dipercaya punya kekuatan magis.
Orang-orang di sana percaya jika saat menenun, benang yang mereka pakai harus melalui doa atau ritual tertentu supaya hasilnya bisa membawa berkah.
Bagi gadis-gadis di NTT, menenun ikat bukan hanya pekerjaan, tapi juga cara untuk tetap terhubung dengan alam dan menghormati roh nenek moyang mereka.
Singkatnya, menenun jadi bentuk penghormatan pada kekuatan yang lebih besar dan cara mereka menjaga tradisi serta spiritualitas.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Jurnal Antroplogi